Jambi, AP – Komunitas Suku Adat Marginal (SAM) Jambi mendapatkan pelatihan penanggulangan bencana dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi dan PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki) agar mampu mengindentifikasi dan menganisipasi potensi kejadian di lingkungan masing-masing.
“Dengan pelatihan ini kita harapkan masyarakat mampu mengidentifikasi potensi bencana di sekitar mereka dan membangun sikap kesiapsiagaan menghadapi bencana bagi komunitas adat,” kata Koordinator Suku-Suku Komunitas Konservasi Indonesia Warsi, Kristiawan, Rabu (30/05).
Pelatihan itu melibatkan masyarakat adat dari Suku Orang Rimba, Talang Mamak dan Batin Sembilan. Dan diharapkan pengetahuan kebencanaan suku-suku yang tinggal di pedalaman ini meningkat dan paham dengan penanggulangan dan penanganan bencana.
Dia mencontohkan kebakaran hutan dan lahan yang menimbulkan kabut asap di kelompokkan suku adat marginal (SAM), itu bagi mereka sebagai bencana yang paling menakutkan dan mempengaruhi hidup mereka.
Berada di dalam hutan namun kondisi gelap di siang hari karena tebalnya kabut asap. Tak hanya itu, akibat bencana tersebut penyakit juga banyak menyerang komunitas ini.
Kristiawan berharap dengan pelatihan itu masyarakat mampu mengidentifikasi potensi bencana di sekitar mereka dan membangun sikap kesiapsiagaan menghadapi bencana bagi komunitas adat.
Menurut Kristiawan, masyarakat adat selama ini merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan dengan bencana yang mungkin datang di lingkungan mereka.
Di sisi lain kelompok ini juga masih belum terlalu siap dengan dampak yang ditimbulkan. Akibatnya masyarakat adat menjadi semakin sulit untuk mengatasi dampak bencana yang timbul.
Selain itu katanya, kerentanan masyarakat adat ini juga disebabkan rendahnya kemampuan sosial dan lingkungan dalam menghadapi dampak bencana alam yang mungkin akan mereka hadapi.
Sebab itu katanya, dengan pelatihan yang dilakukan ini, setelah teridentifikasi potensi bencana, masyarakat juga bisa membangun sistem sederhana peringatan dini bencana di setiap lokasi.
“Untuk langkah yang paling mungkin dilakukan suku adat marginal ini diantaranya dengan pengorganisasian komunitas, kerjasama dengan stakeholder lain seperti dinas kesehatan, BPBD, dinas sosial, PMI dan lembaga swadaya masyarakat,” kata Kristiawan.
Dikatakannya lagi, pengurangan resiko bencana untuk suku adat marginal merupakan masalah yang cukup rumit, dibutuhkan kerja sama berbagai pihak dan harus di tangani secara komprehensif.
“Misalnya saja ketika terjadi kabut asap, biasanya disertai dengan beragam penyakit saluran pernafasan, diare dan bahkan kekurangan pangan. Jika kondisi ini tidak tertangani dengan baik bisa menimbulkan masalah lebih besar bagi suku adat marginal bahkan hingga kematian,” kata Kristiawan.
Untuk itu menurutnya perlu dalam pelaksanaannya komitmen politik dan hukum, serta dilakukan secara terintegrasi dengan kebijakan dan perencanaan pembangunan keseluruhan.
Di samping itu perlu ada sinergi antara pemerintah dan para pemimpin komunitas untuk secara bersungguh-sungguh dan terus menerus mengkampanyekan aksi-aksi pengurangan resiko bencana. ant