Jakarta, AP – Direktur Utama PLN Sofyan Basir berjanji akan memenuhi panggilan KPK selanjutnya untuk diperiksa sebagai saksi dalam penyidikan kasus korupsi suap kesepakatan kerja sama pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Riau-1.
“Kalau dipanggil harus datang, besok pun (kalau dipanggil) kita sudah harus (datang), tidak ada masalah tapi ini (rapat terbatas) kan penting sekali,” kata Sofyan di Istana Bogor, Selasa.
Sofyan tidak menghadiri panggilan KPK karena harus menghadiri rapat terbatas mengenai Strategi Kebijakan Memperkuat Cadangan Devisa yang di dalamnya membahas soal “Domestic Market Obligation” (DMO) dan biodisel bersama Presiden Joko Widodo dan para menteri Kabinet Kerja di Istana Bogor pada Selasa pagi.
“Karena rapat terbatas ini masalahnya (membahas) DMO, masalah biodiesel, dua-duanya ‘case’ PLN kan, enggak mungkin kan (tidak dihadiri),” tambah Sofyan.
Ia pun mengaku sudah meminta izin kepada KPK tidak menghadiri panggilan pemeriksaan tersebut. “Ya tidak apa-apa dong (tidak hadir), izin kan,” tambah Sofyan.
Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengatakan bahwa Sofyan telah mengirimkan surat tidak bisa memenuhi panggilan penyidik.
“Saksi Sofyan Basir tidak datang dalam rencana pemeriksaan hari ini, tadi staf yang bersangkutan menyerahkan surat ke KPK, tidak bisa datang memenuhi panggilan penyidik karena hari ini menjalankan tugas lain,” ucap Febri.
KPK pada hari Jumat (20/7) telah memeriksa Sofyan juga sebagai saksi untuk tersangka Johannes.
KPK sudah menetapkan dua tersangka dalam kasus ini yaitu Wakil Ketua Komisi VII DPR RI dari fraksi Golkar Eni Maulani Saragih dan pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited Johannes Budisutrisno Kotjo.
Dalam operasi tangkap tangan (OTT) pada Jumat (13/7), KPK sudah mengamankan sejumlah barang bukti yang diduga terkait kasus itu yaitu uang Rp500 juta dalam pecahan Rp100 ribu dan dokumen atau tanda terima uang sebesar Rp500 juta tersebut.
Diduga, penerimaan uang sebesar Rp500 juta merupakan bagian dari “commitment fee” sebesar 2,5 persen dari nilai proyek yang akan diberikan kepada Eni Maulani Saragih dan kawan-kawan terkait kesepakatan kontrak kerja sama pembangunan PLTU Riau-1.
Sebelumnya Eni sudah menerima dari Johannes sebesar Rp4,8 miliar yaitu pada Desember 2017 sebesar Rp2 miliar, Maret 2018 sebanyak Rp2 miliar dan 8 Juni 2018 sebesar Rp300 juta yang diberikan melalui staf dan keluarga. Tujuan pemberian uang adalah agar Eni memuluskan proses penandatanganan kerja sama terkait pembangunan PLTU Riau-1.
Proyek PLTU Riau-1 merupakan bagian dari proyek pembakit listrik 35.000 MW secara keseluruhan. PLTU Riau-1 masih pada tahap “letter of intent” (LOI) atau nota kesepakatan. Kemajuan program tersebut telah mencapai 32.000 MW dalam bentuk kontrak jual beli tenaga listrik (power purchase agreement/PPA).
PLTU tersebut dijadwalkan beroperasi pada 2020 dengan kapasitas 2 x 300 MW dengan nilai proyek 900 juta dolar AS atau setara Rp12,8 triliun.
Pemegang saham mayoritas adalah PT Pembangkit Jawa Bali (PJB) Indonesia, anak usaha PLN. Sebanyak 51 persen sahamnya dikuasai PT PJB, sisanya 49 persen konsorsium yang terdiri dari Huadian dan Samantaka.
Johannes Budisutrisno Kotjo ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap dengan sangkaa pasal 5 ayat 1 huruf a atau huruf b atau pasal 13 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 juncto pasal 64 ayat (1) KUHP.
Sedangkan sebagai tersangka penerima suap yaitu Eni Maulani Saragih disangkakan melanggar pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 UU No. 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. ant