Jambi, AP – Lima Tumenggung Orang Rimba dari Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, mengadukan nasib kehidupan mereka yang semakin sulit ke pelaksana tugas (Plt) Gubernur Jambi, Selasa.
Sayangnya para tumenggung itu tidak bertemu langsung Plt Gubernur Jambi karena tengah dinas luar, sehingga para tumenggung diterima pelaksana tugas (Plt) Asisten III Setda Provinsi Jambi, Tagor Mulia Nasution.
Menurut Tumenggung Sikar yang hingga kini tinggal di Muara Delang SP C Kebun Inti I PT Sari Aditya Loka (SAL) Kabupaten Merangin, persoalan mereka sudah ada sejak perusahaan itu datang menggarap hutan milik Orang Rimba.
“Kami hidup terkatung-katung, ibarat ayam kami tidak ada induk, maka kami mengadu dengan Bapak Rajo Godong (Gubernur),” kata Sikar.
Dikatakannya, saat ini penghidupan Orang Rimba hanya dari mengambil bondol buah sawit, hanya saja jika diketahui oleh pihak perusahaan bondol yang sudah mereka ambil disita oleh perusahaan.
“Padahal itu tanah nenek moyang kami, yang kini jadi pabrik PT SAL itu,” kata Sikar.
Disebutkannya, kehidupan orang rimba semakin susah. Berdasarkan survei yang dilakukan WARSI terdapat 192 kepala keluarga Orang Rimba dengan jumlah 778 jiwa yang lahan hidupnya kini sudah beralih menjadi perkebunan PT SAL.
“Dulu kami mau dirumahkan dekat PT SAL, tetapi kami tidak diberikan lahan, nah kami mau hidup dari apa, memungut brondolan saja kami dilarang,” kata Tumenggung Kecinto.
Tumenggung Kecinto dan kelompoknya memang sudah di rumahkan oleh pemerintah pada tahun 2001 silam di daerah Air Panas, dipinggir sawit PT SAL.
Waktu itu Orang Rimba mengira mereka di rumahkan sama perlakuannya dengan transmigrasi yang banyak didatangkan ke daerah mereka di era tahun 1990-an.
“Rupanya kami macam inilah, tidak diberikan lahan, hidup kami makin susah,” kata Kecinto yang juga dikenal dengan nama Afrizal sejak dirumahkan.
Persoalan Orang Rimba yang ada di PT SAL sudah berlangsung lama. Perusahaan itu mendapatkan izin sejak tahun 1990 dan mulai membangun perkebunan dengan merubuhkan hutan pada tahun 1995.
Sejak itu Orang Rimba semakin tergusur. Seiring waktu Orang Rimba menginginkan hak mereka dikembalikan.
Ada sejumlah opsi tuntutan Orang Rimba, yang pertama dikembalikan lahan mereka yang sudah diambil perusahaan dengan cara melepaskan lahan sawit PT SAL sekitar 500 hektare yang akan dibagikan ke masing-masing keluarga. Artinya masing-masing keluarga akan dapat dua hektare.
Jika opsi ini tidak bisa dipenuhi, maka Orang Rimba berharap pemerintah tidak memperpanjang izin hak guna usaha PT SAL di wilayah itu yang akan segera berakhir.
“Jika sudah berakhir HGUnya jangan diperpanjang, kembalikan saja lahan kami,” kata Sikar lagi.
Tuntutan berikutnya adalah perusahaan memberikan lahan lain untuk Orang Rimba, terserah dimana dibelikan yang penting bisa diakses Orang Rimba. Pembelian lahannya bisa dilakukan dengan dana-dana CRS perusahaan.
Menanggapi permohonan Orang Rimba ini, Plt Asisiten III Setda Provinsi Jambi, Tagor Mulia Nasution menyebutkan bahwa pemerintah daerah memperhatikan semua warganya termasuk Orang Rimba.
“Persoalan ini akan kita selesaikan, kita sudah dengar apa yang bapak sampaikan, selanjutnya kita dengarkan juga dari pihak perusahaan, sehingga bisa dicarikan jalan keluarnya,” kata Tagor.
Kehadiran PT SAL di wilayah penghidupan Orang Rimba telah membawa perubahan yang drastis pada ruang hidup Orang Rimba. Kehadiran perusahaan diiringi dengan kehadiran program transmigrasi di tanah adat Orang Rimba itu juga telah menghilangkan sebagian besar aktivitas tradisional Orang Rimba yang selama ini menjadi sumber penghidupan bagi mereka. Kehidupan tradisional Orang Rimba seperti meramu, mengumpulkan hasil hutan, berladang dan berburu menjadi hilang. Akibat kebijakan pemerintah yang memberikan penguasaan hutan dan tanah untuk pengembangan perkebunan sawit dan program transmigrasi. Kehidupan Orang Rimba di sekitar PT SAL sungguh sangat marginal dan sangat memprihatinkan tanpa adanya harapan masa depan. Tidak ada lagi ketersediaan lahan dan hutan yang bisa dimanfaatkan kecuali dengan cara membeli.
Orang Rimba hidup dengan memungut sumber daya eksotik seperti ular, biawak, penis buaya, kumpulkan anak karet, biji sawit, pengumpul pinang, petai, jengkol (yang sebagian merupakan hasil kebun masyarakat), ataupun rongsokan besi tua yang menurut Orang Rimba tidak digunakan lagi oleh masyarakat desa. Terkadang Orang Rimba juga maling tanaman warga transmigrasi dan perkebunan sawit.
Aktivitas-aktivitas tersebut kerap kali menimbulkan keresahan bahkan sampai menimbulkan konflik dengan masyarakat sekitar.
Dari catatan Warsi, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir terdapat 14 (empat belas) Orang Rimba meninggal dunia akibat konflik yang terjadi dengan masyarakat desa.
“Persoalan ini sudah sangat panjang, harus segera diuraikan pemerintah, jika tidak pemerintah sudah melakukan pembiaran yang bisa berujung pada etnosida Orang Rimba,” kata antropolog Komunitas Konservasi Indonesia, Robert Aritonang.
Sebab itu kata Robert, penanganan masalah ini harus segera dilakukan, sehingga bisa memberikan jaminan kepastian bagi semua warga negara untuk bisa hidup dalam negara ini.
“Ada banyak pilihan yang sangat mungkin bisa dilakukan, penyerahan lahan, tidak memperpanjang HGU ataupun dengan membelikan tanah di tempat lain dari dana CSA yang dimiliki perusahaan dan itu merupakan pilihan yang sangat wajar yang bisa diambil perusahaan dan dilegalisasikan oleh pemerintah,” kata Robert menambahkan.ant