Jambi, AP – Nyesep (60), orang rimba dari Kelompok Roni, Kabupaten Merangin Tengah, Jambi, berjuang dan terbaring lemah di Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi akibat bengkak dengan luka terbuka di bibirnya yang didiagnosis dokter sebagai kanker mulut.
“Saat ini masih menunggu pemeriksaan lengkap dokter sebelum tindakan selanjutnya, diagnosa awal kanker mulut dan direncanakan untuk operasi,” kata Koordinator Suku-Suku Komunitas Konservasi Indonesia WARSI, Kristiawan di Jambi, Jumat (12/10) lalu.
Dia mengatakan ibu empat anak itu sebenarnya merasakan perubahan di bibir bawahnya sejak tahun lalu. Awalnya hanya berupa benjolan kecil menyerupai bisul, namun terus berkembang menjadi lebih besar.
Beberapa kali fasilitator kesehatan WARSI mengunjungi perempuan itu, namun Nyesep masih menolak untuk pengobatan medis.
Perempuan yang saat ini bermukim di bawah pepohonan sawit milik masyarakat Desa Kembang Ujo, Kecamatan Pamenang Kabupaten Merangin itu lebih memilih pengobatan tradisional.
Namun kata Kristiawan, Selasa (9/10), Nyesap akhirnya meminta sendiri untuk dibawa berobat seiring dengan kondisi bibir bawahnya yang semakin membengkak dan ia kesulitan makan.
“Awalnya dibawa ke Puskesamas Pamenang, sore harinya dirujuk langsung ke Rumah Sakit Abunjani Bangko. Sesuai dengan jalur untuk pengobatan pasien Jaminan kesehatan daerah (Jamkesda) Kabupaten Merangin, hingga Kamis kembali dirujuk ke Rumah Sakit Raden Mattaher Jambi,” kata Kristiawan menjelaskan.
Menurut Kris untuk saat ini pengobatan orang rimba masih ditanggung oleh pemerintah daerah melalui program Jamkeda.
“Namun yang kami cemaskan jika pengobatan ibu itu mengharuskan dia rujuk ke rumah sakit yang lebih besar dan tentu akan membutuhkan banyak sekali persyaratan yang sulit dipenuhi orang rimba tanpa pendampingan, di situ masalahnya muncul baik dari pemberi layanan maupun pendamping,” kata Kris.
Hal itu, katanya disebabkan Jamkesda untuk orang rimba masih belum terintegrasi ke program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan BPJS.
“Program JKN kita berbasis NIK, faktanya orang rimba hingga hari ini masih bisa dihitung jari yang terdata pemilik KTP. Keluarga ibu ini bersama delapan keluarga lainnya yang tinggal di sesudungon (pondok plastik) sama sekali belum memiliki KTP, sehingga tidak bisa mengakses JKN-BPJS,” kata Kristiawan.
Persoalan itu kata Kristiawan sebenarnya bukan hal baru. Pihaknya sudah beberapa kali berdiskusi dengan pemangku kebijakan terkait hal itu.
“Pada akhir September kemarin kita bekerja sama dengan Dinas Sosial, Dinas Kesehatan dan Dinas Catatan Sipil membahas masalah ini, banyak persoalan yang diungkapkan para pihak dalam meningkatkan layanan kesehatan untuk orang rimba,” katanya.
Selain tidak terdaftar dalam sistem kependudukan, sejumlah daerah sudah memiliki kebijakan untuk penanganan kesehatan orang rimba, salah satunya melalui Jaminan kesehatan masyarakat (Jamkesmas).
“Namun masalahnya Jamkesmas itu berbatas kuota, jadi tidak juga semua orang rimba bisa dilayani. Persoalan selanjutnya Jamkesda maupun Jamkesmas hanya berlaku dalam Provinsi Jambi, selanjutnya jika harus keluar provinsi, itu akan jadi masalah,” katanya lagi.
Persoalan lainnya, lanjutnya, rumah sakit masih sering kebingungan ketika harus menagihkan biaya pengobatan orang rimba yang melalui Jamkesda.
Sebab itu ke depan mau tidak mau orang rimba sudah harus masuk dalam sistem kependudukan minimal mempunyai NIK, sehingga layanan kesehatannya juga ditanggung oleh BPJS, kata Kristiawan menambahkan.
Diketahui, saat ini orang rimba berjumlah sekitar 5.235 jiwa yang tersebar di lima kabupaten yaitu Bungo, Merangin, Sarolangun, Batanghari dan Tebo.
Mereka hidup di dalam hutan dan sebagian besar lainnya hidup menumpang di bawah perkebunan karet, sawit baik milik perusahaan besar maupun milik masyarakat desa. ant