Batanghari, AP – Sejak tahun 2016, kasus Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi secara berangsur mengalami peningkatan akibat masyarakat yang membuka lahan perkebunan dengan cara dibakar.
“Dari tahun 2016 sampai dengan tahun 2018, kasus karhutla meningkat, namun jika dibandingkan dengan tahun 2015 yang lalu beluma ada apa-apanya,” kata Sekretaris BPBD Batanghari, Jambi Samral di Jambi, Kamis (04/07).
Berdasarkan data yang dihimpun oleh BPBD Kabupaten Batanghari pada 2015 terdapat 131 titik karhutla dengan luas lahan yang terbakar mencapai 3.315 hektare. Pada 2016 terjadi penurunan kasus karhutla hingga mencapai 90 persen, di mana tahun 2016 hanya terdapat sembilan titik karhutla dengan luas lahan yang terbakar hanya seluas 15,3 hektare.
Sementara pada 2017 terdapat 17 titik karhutla dengan luas lahan yang terbakar seluas 122,5 hektare dan meningkat kembali tahun 2018 dengan jumlah titik karhutla mencapai 45 titik dengan luas lahan yang terbakar seluas 477,97 hektare dan sejak Januari 2019 hingga Juni 2019, baru terdapat empat kasus karhutla di daerah itu.
Kebakaran hutan dan lahan di daerah itu terjadi di delapan kecamatan, namun dari delapan kecamatan di daerah itu di Kecamatan Bajubang, Batin XXIV, Mersam dan Kecamatan Maro Sebo Ulu merupakan kecamatan dengan jumlah titik karhutla terbanyak, sehingga empat kecamatan tersebut ditetapkan sebagai kecamatan rawan Karhutla.
Untuk meminimalisir terjadinya Karhutla, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Batanghari, Jambi melakukan sosialisasi bahaya Karhutla kepada masyarakat.
“Sejak beberapa tahun terakhir, sosialisasi terhadap bahaya karhutla tersebut dilakukan, harapannya masyarakat dapat memahaminya dan tidak lagi membuka lahan dengan cara dibakar,” kata Samral.
Karhutla tersebut sangat berbahaya, kata dia, karena memberikan dampak yang lebih besar, baik sosial-ekonomi maupun lingkungan. Karhutla tersebut menimbulkan gas karbondioksida, sehingga akan menyumbang emisi gas rumah kaca yang berujung pada pemanasan global.
Selain itu setelah terjadinya karhutla turut menimbulkan pemasalahan lain yang cukup serius, pada saat musim kemarau kekeringan akan mengancam karena kurangnya serapan air dan pada musim kebanjiran turut mengancam keselamatan masyarakat.
Samral mengatakan Tim Reaksi Cepat (TRC) dan TNI-Polri secara bergantian turun ke tengah-tengah masyarakat guna menyosialisasikan bahaya Karhutla. Dibandingkan dengan tahun 2015 yang lalu, jumlah Karhutla di daerah itu menurun drastis, meski dalam tiga tahun terakhir kejadian karhutla di daerah itu mengalami kenaikan. sup