JAKARTA, AP – Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati menilai program Kartu Prakerja yang digagas pemerintahan Joko Widodo tidak boleh menjadi ladang proyek karena itu dirinya meminta penegak hukum proaktif mengawasi program yang nilai anggarannya mencapai Rp20 triliun itu.
“Kartu Prakerja sudah bergeser dari tujuan awalnya karena sudah menjadi ladang proyek. Penegak hukum, KPK, dan Kejaksaan bisa melakukan tugas dan fungsinya secara proaktif terhadap semua penyimpangan,” kata Mufida, melalui keterangannya kepada wartawan di Jakarta, Kamis (30/4).
Menurut Mufida dugaan Kartu Prakerja menjadi ladang proyek menguat karena penunjukan Ruangguru sebagai mitra penyedia jasa aplikasi dilakukan dengan penunjukan langsung saat Belva Syah Devara masih menjabat Staf Khusus Presiden Joko Widodo.
Karena itu dia mendesak pemerintah menghentikan program Kartu Prakerja karena banyak masalah dalam pelaksanaannya berdasarkan masukan dari berbagai pihak tentang kondisi riil di lapangan.
“Kami meminta program Kartu Prakerja dihentikan dulu. Perbaiki semua sistem dengan lebih jelas, adil, dan transparan,” ujarnya.
Selain itu menurut Mufida juga melihat adanya keanehan lainnya yaitu adalah “leading sector” program Kartu Prakerja yang seharusnya berada di Kementerian Tenaga Kerja dan turun ke pemerintah daerah namun bergeser pengelolaannya ke Kementerian Koordinator Perekonomian.
Dia menilai Menko Perekonomian Airlangga Hartarto harus mendengar masukan dari banyak pihak yang menyatakan program Kartu Prakerja berantakan dari awal hingga pelaksanaan.
Bagi pengelola pelatihan menurut Mufida, jangan memanfaatkan krisis pandemi COVID-19 untuk kepentingan sepihak. “Jutaan pekerja kehilangan pekerjaaan atau dipotong gajinya karena terdampak COVID-19. Sungguh tidak terlihat internalisasi nilai-nilai Pancasila dalam pengelolaan program Kartu Prakerja,” katanya.
Menurut dia, dalam kondisi banyak masyarakat kehilangan pekerjaan seperti saat ini, yang diperlukan adalah bantuan sosial langsung ke rakyat untuk bertahan di masa krisis COVID-19, bukan video belajar bertarif ratusan ribu hingga jutaan rupiah yang belum tentu jelas pemanfaatannya. (Ant)