JAKARTA, AP – Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengingatkan deretan risiko jika Bank Indonesia (BI) mencetak uang hingga Rp600 triliun untuk menopang pembiayaan COVID-19 sesuai usul DPR.
“Tentu dampaknya pada risiko inflasi yang tinggi,” katanya, Jumat (1/5).
Menurut dia, apabila terjadi inflasi maka peredaran uang menjadi tinggi di masyarakat, namun tidak diimbangi dengan pasokan produksi yang memadai. Akibatnya, lanjut dia, harga barang akan melonjak yang membuat daya beli masyarakat menurun.
Sektor industri, kata dia, juga mengurangi produksi karena harga barang yang tinggi. Imbasnya, industri atau perusahaan bisa mengurangi jumlah tenaga kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja.
Dampak lainnya, lanjut dia, membuat perekonomian Indonesia merosot dan investasi di Tanah Air menjadi tidak menarik di kalangan investor. Tidak hanya itu, jika bank sentral mencetak uang dengan langkah yang tidak cermat, maka stabilitas rupiah menjadi anjlok.
“BI juga menghindari kondisi seperti kejadian BLBI banyak penyelewengan, kita harus banyak belajar dari pengalaman. Langkah BI saat ini sudah tepat dengan tidak mencetak uang,” imbuhnya.
Adapun kebijakan yang diambil BI adalah dengan melakukan quantitative easing atau melonggarkan kebijakan moneter untuk menambah likuiditas perbankan. Hingga saat ini, BI sudah menginjeksi likuiditas sebesar Rp503,8 triliun yang diharapkan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Kebijakan ini harus didukung dengan stimulus fiskal dari pemerintah karena kebijakan moneter dari BI tidak bisa langsung berdampak ke sektor riil.
Sebelumnya, Badan Anggaran DPR RI memberikan rekomendasi kepada BI salah satunya dengan mencetak uang Rp400-600 triliun karena skenario penganggaran pemerintah untuk menangani COVID-19 diperkirakan tidak mencukupi. (Ant)