Jakarta, AP – Wakil Ketua MPR RI Fraksi PDI Perjuangan Ahmad Basarah menilai wacana pemakzulan Presiden saat suasana duka akibat pandemi COVID-19 hanya akan menguras energi bangsa dan menuai kritik masyarakat luas.
“Ketika semua anak bangsa tengah meresapi hari kelahiran Pancasila, menyelenggarakan diskusi dengan mengangkat tema pemakzulan hanya akan menguras energi bangsa dan menuai kritik masyarakat luas meskipun kegiatan diskusi merupakan ekspresi demokrasi untuk menyampaikan pendapat yang dijamin oleh konstitusi,” kata Basarah dalam keterangannya di Jakarta, Kamis 3 Juni 2020.
Ia mengatakan bahwa hak setiap warga negara menyampaikan pendapat. Namun, harus juga diingat bahwa hal itu harus disertai tanggung jawab dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Basarah, dalam Pasal 1 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum disebutkan bahwa kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Jadi, selain bertanggung jawab dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam menyampaikan pendapat, setiap orang perlu mengedepankan aspek etika dan moral,” ujarnya.
Ia menilai demokrasi memerlukan peraturan perundang-undangan agar cara kita hidup bernegara berada di jalan yang benar (on the right track).
Begitu pula hukum, menurut dia, harus berjalan paralel dengan etika dan moral. Hal ini perlu harmonisasi antara demokrasi, hukum, etika, dan moral.
Menurut Ketua DPP PDI Perjuangan itu, tema terkait dengan pemakzulan presiden sudah kerap terjadi, baik di mimbar akademik maupun forum lain. Akan tetapi, sejauh ini tidak terlalu menimbulkan resistensi dan kegaduhan.
“Lantas mengapa belakangan wacana pemakzulan presiden menimbulkan reaksi penolakan publik secara luas? Fenomena penolakan dan kritis pedas publik ini mestinya menjadi bahan koreksi buat pihak penyelenggara diskusi,” katanya.
Menurut dia, fokus koreksi bukan pada aspek kegiatan dan tema diskusi, melainkan lebih pada persoalan momentum yang tidak tepat karena diskusi itu dilakukan di tengah situasi keprihatinan ketika bangsa sedang berduka menghadapi pandemi COVID-19 dan berbarengan dengan peringatan Hari Lahir Pancasila, 1 Juni.
Seharusnya, kata Basarah, semua pihak turut prihatin jika melihat data per 3 Juni, jumlah korban terinfeksi COVID-19 mencapai 28.233 orang, korban meninggal dunia mencapai1.698 orang, belum lagi harus menerima dampak pandemi yang multidimensi.
“Jadi, dalam kondisi susah seperti ini mestinya semua pihak kompak mencari solusi, bukan mencari nama. Bukankah Pancasila yang menjadi ideologi negara kita mengajarkan lima falsafah hidup yang sangat berarti buat kita hidup bersama sebagai bangsa, mulai dari falsafah ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, sampai keadilan sosial?” kata Basarah.
Ia berharap dalam menghadapi wabah COVID-19, hendaknya semua komponen bangsa memiliki sense of crisis, tepa salira, dan kepekaan sosial seperti yang terkandung dalam kelima sila Pancasila serta tidak menjadikan demokasi sekadar tameng kebebasan berpendapat, tetapi senyatanya itu merupakan ungkapan sakit hati, tidak legawa, dan sejenisnya.
Oleh karena itu, menurut dia, seharusnya seluruh komponen masyarakat bahu-membahu dan gotong royong dalam menghadapi COVID-19 dan mengatasi dampak pandemi yang multidimensi karena dengan gotong royong dan disiplin, anak bangsa ini mampu melewati pandemi.
Dalam sepekan terakhir, ada dua diskusi yang membahas pemakzulan presiden di tengah pandemi COVID-19.
Diskusi Webinar pertama diselenggarakan oleh Komunitas yang mengatasnamakan diri Constitutional Law Society (CLS) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM) yang mengangkat tema “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”.
Diskusi Webinar kedua bertajuk “Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Corona” yang digelar oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (Mahutama) dan Kolegium Jurist Institute. (Red)