Jakarta, AP – Analis politik yang juga Direktur Lembaga Pemilih Indonesia (LPI) Boni Hargens menyebutkan lima kriteria untuk menjadi calon Kapolri.
“Perlu ada kepemimpinan yang kuat, nasionalis, dan demokratis di lingkungan penegak hukum, terutama Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) yang sebentar lagi harus memiliki kepala kepolisian yang baru karena Kapolri sekarang memasuki masa pensiun,” kata Boni dalam keterangannya, Rabu 17 Juni 2020.
Menurut Boni, kriteria calon Kapolri, yakni pertama, sosok nasionalis yang tegas, berani, dan paham prinsip-prinsip demokrasi sipil. Menghadapi gejolak sosial dan politik yang terus berlangsung entah di level daerah ataupun nasional, kata dia, memang memerlukan figur yang kuat dalam prinsip, tegas dalam bertindak, dan tulus mengadi pada bangsa dan negara.
Kedua, lanjut Boni, Polri membutuhkan pimpinan baru yang dapat memperkuat kerja sama lintas sektoral, koordinasi antaragensi dengan Tentara Nasional Indonesia (TNI), termasuk dengan Badan Intelijen Negara (BIN) supaya ada sinergi dalam merespons ancaman, tantangan, hambatan, dan gangguan yang muncul.
Ia mencontohkan isu rasisme Papua yang bergejolak saat ini, polisi tidak bisa bekerja sendirian. Perlu ada koordinasi yang kuat dan efektif dengan BIN untuk pengumpulan dan analisis informasi, dan dengan institusi TNI apabila diperlukan.
Ketiga, Kapolri yang baru mesti sosok yang sejalan dengan visi dan misi penegakan hukum pemerintahan Presiden Jokowi. Dari awal pemerintahan Presiden Jokowi pada tahun 2014, dia menilai TNI dan Polri selalu menjadi kekuatan utama yang menopang keamanan dalam berbagai gejolak yang terjadi di tengah masyarakat. Hal itu harus dipertahankan.
“Apalagi, pada tahun 2024 akan menjadi titik balik yang cukup menegangkan bagi hidup berdemokrasi kita sebagai bangsa,” katanya.
Ia memperkirakan pertarungan antara kaum nasionalis dan kelompok radikal benar-benar akan mewarnai kompetisi Pemilu 2024. Maka, kepolisian haruslah menjadi garda depan dalam menegakkan hukum, menindak setiap bentuk pelanggaran hukum, kebebasan sipil, dan integrasi sosial di tengah masyarakat Indonesia yang beragam.
Keempat, Kapolri yang baru harus melanjutkan prestasi Kapolri sebelumnya, termasuk prestasi Idham Azis dalam memerangi kejahatan besar, seperti sindikat narkoba dan sindikat perdagangan manusia. Ke depan, menurut dia, perlu ada terobosan baru dalam dua kejahatan besar itu karena generasi muda bangsa ini harus diselamatkan dari bahaya narkoba.
Selain itu, perdagangan manusia (human trafficking) harus diberantas tuntas. Tidak hanya menangkap para pelaku dalam negeri, tetapi juga perlu kerja sama dengan yurisdiksi internasional untuk menangkap jaringan mereka di luar negeri.
Ia mengatakan bahwa penjualan manusia sudah puluhan tahun menyasar mayoritas masyarakat kelas bawah yang memang lemah secara ekonomi.
“Saatnya kejahatan macam ini harus diberantas sampai ke akar-akarnya,” kata Boni menegaskan.
Kelima, Kapolri yang baru mesti memiliki potensi akseptabilitas yang memadai dari internal kepolisian. Hal ini penting supaya manajemen institusi bisa berjalan dengan baik, terutama ketika Kapolri menyalurkan perintah dari pusat ke daerah dalam pelaksanaan tugas-tugas penegakan hukum.
Kapolda-kapolda mesti betul-betul bersinergi dengan Kapolri dalam hal visi dan misi, bukan hanya formalitas. Hal itu nanti berdampak pada polres-polres di tingkat kabupaten/kota. Boni lantas mengapresiasi soliditas kelembagaan di polri yang begitu kuat selama ini.
“Itu harus terus dipertahankan karena ke depan tantangan bangsa ini akan lebih besar lagi dalam merawat Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945,” katanya. (Red)