Oleh: Bahren Nurdin
Disclaimer: analisis ini bisa saja salah dan anda punya hak untuk memiliki analisis lain. Politik itu dinamis yang bisa saja berubah setiap saat. Tidak ada yang abadi dalam politik kecuali kepentingan. Pesan saya, membaca analisa ini gak usah baper!
Dalam menganalisa dinamika politik di Jambi saya selalu punya tiga pendekatan utama yaitu party approach, region approach, dan capital approach. Dalam artikel singkat ini, saya hanya bahas yang pertama; party approach.
Kita cermati sebaran kursi yang ada di DPRD Provinsi Jambi. PKB (5), Gerindra (7), PDIP (9), Golkar (7), NasDem (2), Berkarya (1), PKS (5), PPP (3), PAN(7), Hanura (2) dan Demokrat 7). Jumlah kursi yang ada sebanyak 55.
Jika mengacu pada pasal 40 UU Nomor 10 tahun 2016, Partai Politik atau gabungan Parpol dapat mendaftarkan Paslon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 % dari jumlah kursi DPRD atau 25 % dari akumulasi perolehan suara sah dalam Pemilu. Itu artinya, bakal calon harus memiliki minimal 11 kursi baru boleh maju.
Mari kita otak-atik nama-nama yang muncul saat ini menggunakan pendekatan partai dan perolehan kursi yang ada. Langkah cepat diambil oleh pasangan calon Al Haris dan Abdullah Sani. Beberapa hari terakhir mereka telah resmi mengantongi 11 kursi dari PKB (5), PKS (5) dan Berkarya (1). Dengan demikian pasangan ini ‘aman’. Jika ada tambahan partai hanya untuk memperbesar cc mesin politik. Selamat berlayar!
Tersisa 8 partai lagi. Utuk memudahkan melihatnya, mari kita lihat peruntukan sementara dari nama yang muncul ke permukaan. Peruntukan ini tentu belum final. Bisa berubah. PDI-P paling tidak ada dua kader militan yang ‘berhak’ mendapatkannya (walaupun hampir semua bakal calon mendaftarkan diri) yaitu Abdullah Sani dan Safrial. Golkar dapat dipastikan dipegang oleh CE. Demokrat ada AJB, Gerindra katakanlah untuk Fasha, Nasdem untuk FU. Karena H. Bakri menyatakan tidak maju, maka PAN menjadi ‘tidak bertuan’ besama PPP dan Hanura.
Melihat dinamika yang ada saat ini, kemungkinan besar akan ada tiga pasang calon yaitu Haris-Sani, CE-Safrial dan Fasha – AJB. Nah, jika formasi ini yang terjadi, maka posisi FU bisa patah hati alias gak dapat ‘gebetan’. Nasdem cuma punya 2 kursi. Kursi yang tersisa PAN (7), PPP (3) dan Hanura (2). Itu artinya, FU harus ‘berdarah-darah’ untuk mendapatkan kursi PAN, jika tidak, maka FU akan mundur teratur.
Pertanyaanya? Mungkinkah FU mendapat kursi PAN? Mungkin saja. Tapi ingat, PAN pasti punya syarat paling tidak menjadikan Ratu atau Adirozal sebagai wakil. Mungkinkah?
Kemungkinan lain?
Jika Fasha ‘meminang’ Ratu atau Adirozal maka AJB akan ditinggalkan. Nah, FU bisa bergandengan dengan AJB, tapi lagi-lagi masih butuh PPP dan Hanura. Pertanyaan tambahannya, benarkah AJB sudah dapat restu dari Cik Bur?
Yang menarik, bagaimana jika CE ‘menikahi’ Ratu? Maka akan ada ‘gadis molek’; Safrial dengan harta berlimpah 9 kursi. FU terselamatkan. Tapi ingat, FU harus berani meyakinkan ‘orang tua’ Safrial (PDI-P) untuk bisa maju ke ‘pelaminan’ bersama Safrial. Dan, Safrial harus pula benar-benar dapat restu dari ‘orang tuanya’ karena Abdullah Sani juga punya harapan yang sama.
Masih adakah pemungkinan lain? Masih. Analisa di atas hanya dengan asumsi tiga pasang. Bagaimana jika empat pasang? Atau bahkan cuma dua pasang? Siapa yang berani ‘brong’ kursi? Silahkan otak-atik sendiri!
Akhirnya, politik itu dinamis yang akan terus bergerak seiring jarum jam. Tapi haruslah dicatat, apa pun analisisnya dan siapa pun berpasangan dengan siapa, yang rakyat inginkan cuma satu yaitu pemimpin yang mampu membawa kesejahtaraan. Setuju?
(Akademisi UIN STS Jambi dan Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (PUSAKADEMIA).