SEPEKAN lalu video yang menunjukkan seorang perempuan yang menangis dan berteriak saat digotong oleh sejumlah pria dan dibawa masuk ke satu rumah di Kabupaten Sumba Tengah, Nusa Tenggara Timur, beredar di media sosial.
Di samping itu, ada satu video yang menunjukkan seorang perempuan yang “diculik” oleh empat pria saat berada di satu terminal di Kota Weetabula, Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur.
Kedua rekaman video itu menggambarkan bagian dari proses kawin tangkap, praktik yang dianggap lazim di kalangan masyarakat Sumba, khususnya yang berada di daerah pedalaman.
“Tradisi ini sebenarnya sudah menjadi tradisi yang turun temurun. Namun jika dilihat yang terjadi saat ini berbeda sekali dengan yang terjadi pada lalu-lalu,” kata Rambu Prailiang, seorang perempuan Sumba Tengah.
Rambu mengaku sangat menentang praktik kawin tangkap, yang menurut dia pelaksanaannya pada masa sekarang sudah melenceng jauh dari praktik pada masa lalu.
Menurut dia, pada masa lalu perempuan yang menjalankan tradisi kawin tangkap atau Palaingidi Mawini dihargai.
Pada zaman dulu, ia menuturkan, orang yang menjalankan praktik kawin tangkap harus berasal dari keluarga kaya karena belis atau mahar yang harus dibayarkan ke pihak perempuan besar.
Perempuan yang akan “ditangkap”, menurut dia, juga sudah dipersiapkan, sudah didandani dengan pakaian adat lengkap, gelang gading, dan aneka perhiasan. Pria yang akan menikahi perempuan itu pun mengenakan pakaian adat lengkap dan menunggang kuda berhias kain adat.
Setelah perempuan “ditangkap”, pihak laki-laki akan mengirim utusan ke keluarga perempuan untuk menyampaikan informasi mengenai kejadian kawin tangkap tersebut.
Namun, menurut Rambu, sekarang praktik kawin tangkap lebih mengarah pada penculikan dan membuat kaum perempuan Sumba, khususnya di Sumba Tengah, Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya, hidup dalam ketakutan.
Peneliti Janet Alison Hoskin yang melakukan riset di Kodi Sumba Barat Daya dan Joel C Kuipers yang melakukan penelitian di Wawewa Sumba Barat menyatakan bahwa kawin tangkap bukanlah budaya atau tradisi, melainkan praktik yang terus menerus berulang di Pulau Sumba.
Sementara menurut antropolog dari Universitas Widya Mandira Kupang Pater Gregorius Neonbasu, SvD, praktik kawin tangkap di Pulau Sumba hanyalah tindakan pragmatis yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat.
“Jadi menurut saya hal tersebut harus segera ditanggapi oleh tokoh masyarakat atau sesepuh masyarakat Sumba sendiri karena memang praktik kawin tangkap itu sendiri hanyalah tindakan yang terjadi karena kondisi dan iklim kehidupan sesaat di daerah itu,” katanya.
Menurut dia, masyarakat Sumba pada umumnya juga berjuang untuk sedapat mungkin menghindari praktik kawin tangkap yang kontroversial.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak I Gusti Ayu Bintang Darmawati mengatakan bahwa praktik kawin tangkap sebagaimana yang terjadi di Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya merupakan salah satu bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak.
“Budaya atau tradisi tidak statis tetapi dinamis. Kasus kawin tangkap adalah praktik kekerasan dan pelecehan terhadap kaum perempuan dan anak. Jadi jangan sampai alasan tradisi budaya dipakai hanya sebagai kedok untuk melecehkan perempuan dan anak,” katanya.
Menyusul laporan beberapa aktivis ke kepolisian mengenai praktik kawin tangkap di Sumba, Bintang meminta Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur menangkap para pelaku kawin tangkap.
Anggota Komisi IX DPR RI dari Daerah Pemilihan Sumba Ratu Ngadu Bonu Wulla mengaku prihatin praktik kawin tangkap sampai sekarang masih terjadi di Pulau Sumba.
Sebagai perempuan dia mengaku bisa merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang menghantui perempuan-perempuan di Pulau Sumba akibat praktik yang dijalankan dengan mengatasnamakan budaya itu.
“Saya sebagai seorang perempuan dan juga berasal dari Sumba saya tidak setuju dengan budaya ini jika dipertahankan karena memang sangat berdampak buruk pada kaum perempuan di Sumba,” katanya.
Politisi Partai Nasdem itu juga mengatakan bahwa praktik kawin tangkap telah membuat hak perempuan di Sumba terampas.
Sebagaimana Ratu Ngadu, Ketua DPRD Nusa Tenggara Timur Emilia Nomleni mengemukakan bahwa praktik kawin tangkap telah menimbulkan ketakutan bagi perempuan dan anak-anak perempuan di Sumba.
Dia mengatakan, orang-orang yang tidak merasakan langsung dampak praktik kawin tangkap mungkin bisa menganggapnya sebagai hal biasa, namun tidak demikian dengan perempuan yang mengalami atau menyaksikannya langsung.
“Tentu saja praktik ini juga akan berdampak pada kehidupannya setelah menikah nanti. Tetapi sebenarnya praktik ini juga sebenarnya tidak boleh,” kata politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan bahwa praktik kawin tangkap merupakan bagian dari tindak kekerasan seksual berupa pemaksaan perkawinan.
Menurut dia, praktik itu harus dihentikan dan semua pihak, mulai dari aparat pemerintah, aparat kepolisian, sesepuh adat, tokoh agama, hingga masyarakat setempat, harus ikut menghentikannya.
“Ini melanggar hukum, karena memang korban, dalam hal ini perempuan, itu dirampas kebebasannya. Oleh karena itu perlu bergandengan tangan menjaga agar kaum perempuan di Sumba tidak lagi menjadi korban akan hal itu,” katanya.
Emilia mengatakan bahwa sudah saatnya praktik kawin tangkap dihentikan.
“Dulu bagi saya mungkin ada hubungan kait mengait sehingga proses praktik ini bisa dilegalkan, tetapi dengan seiring perkembangan jaman seharusnya tidak boleh lagi dilakukan,” katanya.
Ia menekankan bahwa kaum perempuan dan anak-anak harus dilindungi dari praktik-praktik yang merampas hak dan menimbulkan ketakutan seperti kawin tangkap. (Red)