KERINCI, AP – Tingginya aktivitas eksploitasi tambang galian C di sepanjang DAS Batang Merao, di Kecamatan Gunung Kerinci, Kabupaten Kerinci tidak hanya menyebabkan sedimentasi dan minimnya pasokan air, tetapi juga air sungai yang mengalir berubah warna menjadi keruh. Apalagi di musim kemarau sekarang.
Kondisi ini sering kali dikeluhkan warga yang tinggal disepanjang aliran tersebut namun . Warga mendesak pemerintah daerah dan aparat hukum menutup galian itu. “Iya, sejak beberapa tahun ini aliran Sungai Batang Merao berubah warna karena aktivitas galian C di hulu sungai,” ujar Yadi, warga Depati Tujuh, Senin 27 Juli 2020.
Dia menduga biang keladi dari perubahan air sungai disebabkan galian, sehingga air yang dulunya sering dimanfaatkan warga untuk berenang, pertanian, dan kebutuhan lainnya, sekarang tak bisa dimanfaatkan lagi.
“Air sungai dulu masih jernih dan kerap dimanfaatkan warga terutama ketika musim kemarau tiba,” katanya.
Selain perubahan air, lanjut dia, saat musim hujan Sungai Batang Merao tersebut akan meluap dan mengenangi sejumlah ruas jalan, serta rumah beberapa Kecamatan di Kerinci dan Kota Sungai Penuh, terutama yang berada di daerah aliran sungai tersebut.
“Kami sudah sering mengingatkan agar Pemda segera mencarikan solusinya agar kerusakan lingkungan dan aliran Sungai Batang Merao tidak terlampau parah. Namun sampai sekarang tidak ditindak dan ditanggapi,” katanya.
Yadi menilai Pemkab Kerinci harus jeli dalam merekomendasi izin penambangan mengingat akibatnya terhadap lingkungan. “Kalau penambangan itu membawa dampak yang besar terhadap lingkungan lebih baik ditindak dan tidak diberi izin,” tegasnya.
Sementara itu, Mario salah seorang Tokoh Muda Kerinci mengatakan, dua aliran sungai tepatnya di Jembatan Kelurahan Pasar Siulak Deras, dimana Sungai yang satu airnya bersih. Sedangkan sungai yang satunya lagi aliran sungai keruh berwarna kekuningan.
“Saya telusuri pangkal aliran sungai ini, ternyata tambang galian C lah penyebab warna sungai keruh seperti ini. Aktivitas galian C di Siulak deras, tak memperhatikan dampak lingkungan yang akan terjadi. Padahal, ini sudah dikritik berkali-kali oleh masyarakat. Tapi tak pernah digubris. Mungkin pemiliknya mampu menutup mulut para pengkritisi itu,” kata Mario.
Mario sangat berharap aliran sungai ini kembali jernih, dan bisa jadi tempat pemandian seperti yang dilakukan masyarakat dulunya. Tak perlu ke kolam renang, cukup ke sungai. Selain gratis, ekosistem sungai tetap terjaga. Masyarakat bisa memancing ikan. Aliran sungai bisa mengairi sawah.
“Saya mengajak kepada seluruh masyarakat yang ikut prihatin terhadap aliran sungai kita, untuk melaporkan permasalahan ini melalui website https://www.lapor.go.id/ agar masalah ini bisa ditindak tegas. Agar oknum beking yang selama ini melindungi hal ini tidak bisa berbuat apa-apa,” sebutnya.
Setidaknya, aktivitas galian harus mengikuti amdal. Agar setiap kegiatan mereka tidak mencemari lingkungan. “Jika ingin membuka usaha itu harus mengikuti Amdal, jangan seperti ini,” kata dia.
Chua Salah seorang pemerhati lingkungan di daerah itu sangat menyayangkan tercemarnya aliran sungai Batang Merao ini. Ia mengatakan secara ekologis, kehadiran tambang liar atau galian tersebut berdampak terhadap menurunnya kualitas air dan merusak fisik sungai akibat dari pengambilan komoditas pasir baik yang dilakukan secara tradisional maupun menggunakan mesin penyedot dan alat berat.
“Akibat dari aktivitas galian C ini membuat rusaknya infrastruktur jalan, tebing sungai dan terganggunya fasilitas air bersih. Ini juga bagian dari kerugian yang harus ditanggung oleh masyarakat yang berada di aliran Sungai Batang Merao,” kata dia.
Chua menyebutkan pajak yang diterima pemerintah juga tidak sebanding dengan jumlah kerugian yang ditimbulkan. Apalagi, beroperasi ini tanpa memiliki izin resmi dari Pemerintah.
“Ini sangat merugikan misalnya, tebing sungai erosi dan dasar sungai menjadi lebih dalam akibatnya ambruknya ruas jalan dan jembatan disebabkan oleh terkikisnya dasar sungai dampak dari pengambilan material galian C,” tandasnya. (Hendra)