JAKARTA, AP – Anggota DKPP Ida Budhiati mengatakan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang notabene di bawah Mahkamah Agung (MA) hanya lembaga peradilan yang berwenang untuk memeriksa persoalan hukum, bukan persoalan etik.
Ida Budhiati mengatakan hal tersebut terkait polemik putusan PTUN Jakarta dalam perkara 82 Tahun 2020 tentang perkara yang digugat oleh mantan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik.
“Nah ini dua hal yang berbeda antara problem hukum dengan problem etik,” kata Ida, 29 Juli 2020.
Menurutnya Presiden Joko Widodo melalui Keppres 34/P Tahun 2020 yang memberhentikan tidak hormat Evi Novida Ginting sebagai Anggota KPU, sudah sesuai amanat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
“Belum dibentuk mahkamah etik yang diberikan tugas untuk mengoreksi putusan DKPP,” kata dia.
Perempuan yang pernah menjadi Anggota KPU RI Periode 2012-2017 ini menjelaskan berdasar Undang-undang 7 tahun 2017, DKPP memiliki otoritas untuk menerbitkan vonis atau putusan final and binding atau bersifat final dan mengikat.
Sehingga, tidak ada satu pun lembaga peradilan yang bisa mengoreksi putusan DKPP yang merupakan peradilan etik di bidang pemilu.
“Karenanya keputusan Bapak Presiden itu sudah tepat melaksanakan dan menindaklanjuti putusan DKPP yang final dan binding serta tidak bisa dianulir oleh peradilan hukum,” ujar Ida.
Sebelumnya, Majelis Hakim PTUN Jakarta membuat 5 keputusan terhadap Evi Novida Ginting Manik selaku penggugat dan Presiden Joko Widodo sebagai tergugat, yaitu mengabulkan gugatan penggugat untuk seluruhnya
Kemudian, menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020.
Selanjutnya, Putusan PTUN mewajibkan tergugat untuk mencabut Keputusan Tergugat Nomor 34/P Tahun 2020 tentang Pemberhentian Dengan Tidak Hormat Anggota Komisi Pemilihan Umum Masa Jabatan 2017-2022 tanggal 23 Maret 2020.
Kemudian, mewajibkan Tergugat merehabilitasi nama baik dan memulihkan kedudukan penggugat sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum masa jabatan 2017-2022 seperti semula sebelum diberhentikan, serta menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp332 ribu. (Red)