Oleh: Mochammad Farisi, LL.M
Memangnya kalo suami/istri, bapak/ibu, abang, kakak, adik saya seorang pejabat negara, lantas saya tidak boleh ikut pilkada? Bukankah setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama dalam hukum dan memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan? Pertanyaa ini selalu muncul jelang pilkada, dan tahun 2020 ini semakin hangat dibicarakan karena ditingkat national anak dan menantu presiden sedang ikut Pilkada di Solo dan Medan, anak Wapres juga ikut di Pilkada Tangsel . Di Jambi Pilkada 2020 kali ini juga diwarnai politik dinasti Fikar Azami anak petahana AJB ikut di Pilkada Kota Sungai Penuh, Hafiz Fattah anak Sofia Fattah almarhum Bupati dan Wakil Buapti Batang Hari dan di Tanjab Barat ada Cici Halimah Istri petaha Safrial dan Mulayni Siregar adik Safrial.
Ada beberapa perspektif melihat politik didasti ini. Pertama, bila melihat fakta sejarah Tiongkok dan Mesir dipercaya sebagai awal munculnya dinasti jauh ratusan abad sebelum masehi, dilanjutkan dengan Kekaisaran Romawi dan Dinasti Umayah Khalifah Islam. Dengan system monarki maka dinasti diartikan sebagai kekuasaan berdasarkan hubungan darah turun temurun, biasanya anak laki-laki tertua disipakan untuk mewarisi tahta/kuasaan orang tua. Sampai hari inipun praktek ini tetap berlaku seperti di kekaisaran Jepang, Kerajaan Inggris, Thailand bahka di Indoensia Raja Keraton Yogyakarta adalah turun tumuren dari Sultan Hamengku Buwono.
Dengan hadirnya system demokrasi, dimana kekuasaan dari oleh dan untuk rakyat, dinasti politik tidak sepenuhnya hilang, kekuasaan berdasarkan warisan sedarah hanya mengalami pergesaran, kalau dulu langsung turun ke anak, namun saat ini melalui oligarki partai politik, maka politik dinastipun masih bisa langgeng. Buktinya, banyak! Dinasti Limpo di Sulsel, dinasti Narang di Kalteng, dan dinsati Nurdin di Jambi.
Yang paling mencuat adalah dinasti Chasan Sochib di Banten mulai Ratu Atut Chosiyah sang anak menjadi Gubernur Banten dua periode, Ratu Tatu Chasanah sang anak menjadi Bupati Serang, menantu Airin Rahmi sebagai Waliota Tangsel hingga anak menantu yang menduduki berbagai posisi jabatan lainnya. Artinya meskipun Indonesia menganut demokrasi, namun kekuasaan berbasis hubungan darah akan terus terjadi bila partai masih dikuai kelompok elit (oligarki).
Kedua, dilihat dari kacamata hak asasi manusia putusan MK No. 33/PUU-XII/2015 menjadi payung dilegalkannya politik dinasti, MK membatalkan pasal 7 huruf r UU No. 8 Tahun 2015 tentang pemilihan kepala daerah yang melarang calon kepala dearah memilki konflik kepentingan (memilki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping dengan petahan yaitu; ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu) kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan.
Bila melihat histori dibuatnya pasal ini karena dalam prakteknya Politik Dinasti cenderung memonopoli kekuasaan dan melakukan praktek KKN, hal ini sangat berlawanan dengan semangat reformasi. Meskipun faktanya banyak kasuk korupsi yang terjadi akibat politik dinasti, tidak serta merta dijadikan dasar mengeliminir keluarga petaha untuk berpartisipasi, yang penting perlu dibenahi adalah kerja-kerja politik kususnya proses candidacy di partai politik.
Ketiga, melihat politik dinasti dari macetnya reformasi dan pendidikan politik di lingkungan partai politik itu sendiri, partai masih gagal memahi fungsi parpol dimana harus melakukan kaderisasi dan seleksi yang transparan. Namun faktanya kaderisasi tidak berjalan maksimal, seleksi tidak transparan, partai dikuasai elit (oligarki) dan lebih mengejar kemenangan dari pada memperjuangkan nilai perjuangan kader. Parahnya public tidak pernah mengetahui bagaimana seleksi yang dilakuakn partai, apakah kriteria partai menentukan pilihan pada kandidat tertentu. Selama system integritas partai politik (SIPP) belum dibangun jangan harap demokrasi kita akan berkualitas.
Keempat, bila dilihat dari etika birokrasi pemerintahan maka dinasti politik membuat roda pemerintahan tidak sehat, salah satu tujuan demokrasi adalah membagi kekuasaan antara aksekutif dan legislative sehingga bisa tercipta check and balances, tercipta hubungan kerja yang yang dinamis dimana DPRD berfungsi sebagai pengawas pemerintah. Namun hal tersebut sulit dilakukan bila pemerintahan sudah dikuasai oleh satu trah keluarga, misalnya suami menjadi kepala daerah, istri atau keluarga yang lain ketua DPRD, kemudian anak, menantu, ipar juga menjabat di pos-pos penting tanpa kompetensi yang tepat, tidak terjadi merit system dan sangat berpotensi untuk KKN.
Terakhir, buah jatuh tak jauh dari pohon pohonnya, agaknya peribahasa ini bisa menjadi dasar bahwa anak atau kelaurga besar yang hidup didunia politik juga akan mewarisi passion orang tuanya, yang terpenting adalah para kandiddat memilki kompetensi dan mengikuti prosedur pencalon di partai politik, jangan ada anak emas/keistimewaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa kedekatan dengan keluarga petahana/penguasa akan membawa keuntungan, itu lah politik aji mumpung. Keputusan akhir ada pada tangan rakyat, karena kualitas pemimpin berkorelasi dengan kualitas rakyat, rakyat yang cerdas berintegritas akan menghasilkan pemipin yang amanah dan punya kapasitas.
(Direktur Pusat Kajian Demokrasi dan Kebangsaan (PUSAKADEMIA)