Oleh: Hendra Kurniawan, S.Si, M.Si
Wacana mengenai insentif fiskal berbasis ekologi atau ecological fiscal transfer mulai berkembang dalam 2 tahun terakhir. Research Center for Climate Change University of Indonesia (RCCCUI) menginisiasi penambahan variabel luas kawasan hutan dalam formula pembagian Dana Alokasi Umum (DAU) ke daerah.
The Biodiversity Finance Initiative yang digagas oleh UNDP (United Nations Development Pragramme) mendorong ada skema Dana Insentif Daerah (DID) untuk keanekaragaman hayati. Kemudian The Asia Foundation (TAF) bersama jaringan masyarakat sipil mempromosikan insentif fiskal berbasis ekologi melalui 3 skema yaitu Transfer Anggaran Provinsi berbasis Ekologi (TAPE), Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi (TAKE), dan Transfer Anggaran Nasional berbasis Ekologi (TANE).
Insentif fiskal adalah pemanfaatan pendapatan dan pengeluaran negara untuk mempengaruhi keadaan ekonomi atau kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh pemerintah yang terkait langsung dengan APBN (Anggaran Pendapatan Belanja Negara). Contohnya adalah insentif bea masuk dan bea keluar, insentif pajak, dan subsidi. Jadi insentif fiskal berbasis ekologi adalah transfer fiskal dari pemerintah lebih tinggi (Nasional, Provinsi dan Kabupaten) kepada unit pemerintah di bawahnya berdasarkan kewenangan dan kinerja dalam perlindungan dan pengelolaan kehutanan dan lingkungan hidup.
Menteri Keuangan Republik Indonesia (Menkeu RI), Sri Mulyani Indrawati memaparkan sejumlah transfer fiskal untuk menjaga ekologi hutan Indonesia pada acara Konferensi Peluncuran Hasil Penelitian dan Penyampaian Rekomendasi Transfer Fiskal Ekologis yang diselenggarakan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI), dan World Resources Institute (WRI) Indonesia di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta pada Kamis, 1 Agustus 2019.
Beberapa instrumen Transfer Ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) yang dapat digunakan untuk pendanaan ekologis diantaranya Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH-SDA), Dana Alokasi Khusus melalui DAK Fisik bidang lingkungan hidup dan kehutanan serta DAK Non Fisik Bantuan Biaya Layanan Pengelolaan Sampah; Dana Insentif Daerah (DID) melalui penilaian kategori kinerja pengelolaan sampah; Hibah Daerah melalui hibah konservasi Taman Nasional; Dana Desa yang sebagian kegiatannya dapat dipergunakan untuk pelestarian lingkungan hidup; dan terakhir Dana Otonomi Khusus (Dana Otsus) yang digunakan untuk perlindungan dan konservasi sumber daya hutan.
Di beberapa negara, skema insentif ini dikembangkan melalui transfer fiskal kepada pemerintah di bawahnya (negara bagian atau provinsi) sebagai penghargaan atas kinerja dalam pengelolaan lingkungan hidup termasuk kehutanan. Sebagai contoh di negara bagian Parana, Brasil telah menerapkan skema insentif ini (ecological fiscal transfer) yang dalam waktu hanya 8 tahun, berhasil meningkatkan total kawasan lindung di Parana dari 637 ribu ha pada 1991 menjadi 1,69 juta ha pada tahun 2000 atau meningkat sekitar 165%. Keberhasilan ini menginspirasi negara-negara bagian lainnya di Brasil dan beberapa negara lain seperti Portugal (2007), India, Jerman, Australia, dan Swiss.
Kabupaten Jayapura menjadi kabupaten pertama di Indonesia yang menerapkan skema transfer keuangan berbasis lingkungan. Kebijakan ini ditetapkan dalam Peraturan Bupati Jayapura No. 11 Tahun 2019 tentang Alokasi Dana Kampung Kabupaten Jayapura. Menurut riset lembaga The Asia Foundation dan lembaga bantuan Pemerintah Inggris (UKAid), Kabupaten Jayapura telah menerapkan skema transfer keuangan berbasis lingkungan.
Selain Kabupaten Jayapura, gagasan pemberlakukan insentif ini juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Utara. Gubernur Kalimantan Utara melalui penerbitan Peraturan Gubernur (Pergub) No. 6 Tahun 2019 mengharuskan transfer bantuan keuangan provinsi Kalimantan Utara didasarkan pada lima kriteria, yaitu pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan, penyediaan ruang terbuka hijau, pengelolaan persampahan, perlindungan sumber daya air, dan pencegahan pencemaran udara.
Pemerintah Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara mengalokasikan 10% dari Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH) menjadi Alokasi Dana Desa (ADD). Kabupaten Nunukan mengaplikasikan skema TAKE melalui Peraturan Bupati (Perbup) no. 59 tahun 2019. Alokasi dana dibagi ke dalam empat bagian, yaitu pertama, alokasi sebesar 70% dibagi merata untuk setiap desa, kedua, alokasi proporsional sebesar 22,5% sesuai dengan jumlah penduduk, jumlah penduduk miskin, luas wilayah dan kesulitan geografis, ketiga, alokasi Alokasi Dana Desa afirmasi sebesar 2,5% dan keempat, alokasi Dana Desa insentif sebesar 5%. Untuk dua alokasi terakhir menggunakan skema TAKE dalam penganggarannya.
Beberapa daerah lain di Indonesia yang sedang dalam proses pembahasan adopsinya, antara lain Papua, Papua Barat, Kalimatan Timur, Riau, Sulawesi Selatan dan Aceh untuk skema TAPE dan Kabupaten Bener Meriah, Kabupaten Keerom, Kabupaten Supiori dan Kabupaten Kubu Raya untuk skema TAKE.
Provinsi Jambi memiliki kawasan hutan yang sangat luas. Berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor SK:1783/Menlhk-PKTL/KUH/PLA.2/3/2017 tanggal 31 Maret 2017 tentang Peta Perkembangan Pengukuhan Kawasan Hutan Provinsi Jambi sampai dengan Tahun 2016 adalah 2.117.386 Ha atau 43,22% dari luas daratan Provinsi Jambi seluas 4.898.998 Ha, terdiri dari: Kawasan Konservasi seluas 696.334 hektar, Hutan Lindung: 181.548 hektar, Hutan Produksi terbatas (HPT) seluas 259.491 hektar, Hutan Produksi Tetap (HPT): 968.590 hektar dan Hutan Produksi yang dapat dikonversi seluas 11.423 hektar.
Provinsi Jambi memiliki empat Taman Nasional yang mewakili seluruh ekosistem, dari ekosistem pantai di sebelah timur sampai ekosistem dataran tinggi di sebelah barat. Taman Nasional tersebut adalah Taman Nasional Bukit 12, Taman Nasional Berbak Sembilang, Taman Nasional Kerinci Seblat dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Selain Taman Nasional, Provinsi Jambi juga memliki Cagar Alam (CA) antara lain, CA Hutan Bakau Pantai Timur, CA Sungai Betara, CA Buluh Hitam, CA Cempaka, CA Durian Luncuk I, CA Durian Luncuk II dan CA Gua ULU Tingko. Selain itu, ada juga Taman Hutan Kota, yaitu Taman Hutan Raya Sultan Thaha, Hutan Raya Bukit Sari, Hutan Harapan, Hutan Pinus Paal 11 Kenali Asam, Hutan Kota dan HutanRengas Danau Teluk.
Provinsi Jambi yang memiliki kawasan hutan yang luas tersebut menghadapi dilema. Menjaga hutan dan sumber daya hutan memberikan banyak manfaat, misalnya berupa jasa ekosistem seperti penyerapan karbon dan pengaturan iklim. Jasa-jasa ini dinikmati banyak pihak bahkan melewati wilayah administratif Provinsi Jambi.
Namun, menjaga hutan juga menimbulkan biaya dan sumber daya yang tidak sedikit, di samping kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan sumber daya hutan untuk misalnya, perkebunan kelapa sawit dan tambang yang dapat berguna sebagai sumber pendapatan daerah. Beban biaya untuk menjaga hutan ditanggung sepenuhnya oleh daerah pemilik hutan tanpa kompensasi maupun insentif sementara manfaat dari hutan yang terjaga dinikmati secara luas, melampaui wilayah Provinsi Jambi.
Insentif fiskal berbasis ekologi ini merupakan jalan keluar bagi pemerintah Provinsi Jambi yang memiliki kawasan hutan yang sangat luas untuk mendapatkan biaya dan manfaat yang sepadan. Berbagai instrumen dan skema transfer fiskal ini memiliki tantangan dan pendekatan yang berbeda-beda.
Kelak diharapkan transfer bantuan keuangan dari pemerintah pusat atau provinsi kepada kabupaten/kota dan desa tidak lagi dilakukan secara block-grant tanpa didasarkan pada kriteria dan indikator tertentu, tetapi harus berwawasan ekologis.
*) Bahan Utama artikel ini disarikan dari webinar yang diselenggarakan oleh KKI WARSI tanggal 2 Juli 2020 dan dari sumber lainnya. Penulis merupakan Ketua Program Studi Kehutanan Universitas Muhammadiyah Jambi dan Aktivis Lingkar Diskusi KAMU.