JAKARTA, AP – Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan menegaskan bahwa para pelanggar protokol kesehatan (prokes) saat tahapan Pilkada Serentak 2020 dapat dijerat hukum pidana.
“Sanksi terkait protokol kesehatan ada 2 yaitu administratif dan pidana, sanksi administratif murni kewenangan Bawaslu dan KPU berupa teguran, saran perbaikan atau menghentikan proses yang dilakukan pasangan calon, sedangkan untuk pidana diatur di undang-undang selain undang-undang pilkada,” kata Abhan, Selasa (8/9).
Abhan menyampaikan hal tersebut seusai menghadiri rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo dengan tema “Lanjutan Pembahasan Persiapan Pelaksanaan Pilkada Serentak” melalui “video conference”.
“Di UU Pilkada maupun peraturan KPU tidak mengatur sanksi pidana untuk pelanggar protokol kesehatan tapi ada UU lain di luar UU pilkada yang bisa diterapkan bila ada pelanggaran. Terkait apa sanksi pidana untuk protokol kesehatan ada pasal 212 dan 218 KUHP,” ungkap Abhan.
Pasal 212 KUHP berbunyi, “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan melawan seorang pejabat yang sedang menjalankan tugas yang sah, atau orang yang menurut kewajiban UU atau atas permintaan pejabat memberi pertolongan kepadanya, diancam karena melawan pejabat, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun 4 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.500”.
Sedangkan Pasal 218 KUHP berbunyi “Barang siapa pada waktu rakyat datang berkerumun dengan sengaja tidak segera pergi setelah diperintah 3 kali oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam karena ikut serta perkelompok dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp9.000”.
Selanjutnya pasal 93 UU 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan pasal 93 menyebutkan “Setiap orang yang tidak mematuhi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) dan/atau menghalang-halangi penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan sehingga menyebabkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100 juta”.
Ditambah juga penerapan UU No. 4 tahun 1984 tentang tentang Wabah Penyakit Menular. “Ini wilayah pidana umum, jadi murni kewenangan penyidik kepolisian, tugas Bawaslu meneruskan persoalan ini ke polisi,” ucap Abhan.
Menurut Abhan, masih ada juga peraturan gubernur, peraturan bupati, peraturan wali kota dan peraturan daerah yang masing-masing mengatur sanksi administratif dan pidana terkait protokol kesehatan.
“Tapi yang paling penting adalah pencegahan, apa artinya penindakan kalau sudah menyebabkan banyak orang tertular. Jadi agar jangan sampai ada kerumunan kita yang punya kewenangan agar dapat membubarkan massa,” tutur Abhan.
Abhan juga mengantisipasi akan adanya kerumunan juga setelah KPU mengumumkan nama pasangan calon peserta pilkada pada 23 September 2020.
“Ada otensi ketika dilakukan protes atau keberatan atas penetapan paslon yang ditetapkan dan mengajukan keberatan ke Bawaslu dengan membawa massa. Kami akan melakukan pencegahan yaitu pasangan yang membawa massa banyak tidak akan kami register sebelum mengendalikan massa mereka karena sebenarnya cukup penasihat hukum yang mengajukan,” ungkap Abhan.
Pilkada Serentak 2020 akan digelar di 270 wilayah di Indonesia, meliputi 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota. Semula, hari pemungutan suara Pilkada akan digelar pada 23 September namun akibat pandemik COVID-19, hari pencoblosan diundur hingga 9 Desember 2020.
Tahap pendaftaran pasangan bakal calon peserta Pilkada 2020 sudah dilakukan pada 4-6 September 2020, selanjutnya KPUD akan melakukan verifikasi dan mengumumkan peserta pilkada pada 23 September.
Masa kampanye akan berlangsung pada 26 September sampai 5 Desember 2020 atau selama 71 hari. (Red)