ANGGOTA Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19 Hidayatullah Muttaqin SE, MSI, Pg.D mengatakan meningkatnya angka kesembuhan COVID-19 harus diikuti penurunan kasus baru.
“Membaiknya angka kesembuhan menjadi kurang berarti manakala kasus baru dan jumlah kematian absolut tidak mengalami penurunan,” kata dia, Minggu (11/10).
Diakui Taqin, saat ini ada sisi yang menggembirakan dari perkembangan COVID-19 yaitu semakin bertambahnya pasien yang sembuh. Dimana jumlah akumulasi pasien yang mendapatkan kesembuhan sudah mencapai lebih dari 240 ribu orang per 7 Oktober 2020.
Kemudian dibandingkan dengan jumlah kasus terinfeksi COVID-19, maka tingkat kesembuhan atau case recovery rate nasional sudah mencapai 76,1 persen, naik sebanyak 1,2 persen dibandingkan tingkat kesembuhan pada 30 September 2020.
“Angka ini juga jauh lebih tinggi dibandingkan kondisi pada akhir Juni dan Agustus yang lalu, di mana tingkat kesembuhan masing-masing baru mencapai 44,0 persen dan 72,1 persen,” tuturnya.
Pada tingkat provinsi, daerah yang paling tinggi tingkat kesembuhan adalah Kalimantan Utara 88,8 persen, kemudian Maluku Utara 88,2 persen, Kalimantan Selatan 86,3 persen, Jawa Timur 85,8 persen, dan Bali 84,9 persen. Secara keseluruhan ada 11 provinsi dengan tingkat kesembuhan 80 persen ke atas dan 205 kabupaten dan kota.
Pada umumnya, daerah dengan tingkat kesembuhan rendah mengalami pertumbuhan kasus baru yang cukup tinggi.
Misalnya pertumbuhan kasus baru Jambi, Papua Barat, dan Sulawesi Barat pada 7 hari pertama bulan Oktober dibandingkan jumlah kasus pada akhir September masing-masing sebanyak 30,4 persen, 19,2 persen dan 21,4 persen.
Sedangkan provinsi dengan tingkat kesembuhan paling tinggi seperti Kalimantan Utara, Maluku Utara dan Kalimantan Selatan masing-masing mengalami pertumbuhan kasus baru sebanyak 8,0 persen, 0,6 persen, dan 4,1 persen.
Ini menunjukkan daerah yang mampu menurunkan pertumbuhan kasus baru cenderung mendapatkan tingkat kesembuhan yang lebih tinggi. Sebaliknya, daerah yang tren kasus barunya meningkat, angka kesembuhannya menjadi turun.
Hanya saja, menurut Taqin data statistik ini tidak menjadi jaminan bahwa suatu daerah dengan pertumbuhan kasus rendah sehingga angka kesembuhannya tinggi mencerminkan kondisi riil.
Sebab, sangat mungkin terdapat populasi yang terinfeksi tetapi tidak terdekteksi karena masih rendahnya tingkat tes usap dan lemahnya strategi 3T (testing, tracing, dan treatment).
Dipaparkan Taqin, indikasinya secara nasional jumlah penduduk yang sudah menjalani tes PCR baru mencapai 2,2 juta orang atau setara 8.034 orang per satu juta penduduk.
Jika data DKI Jakarta dikeluarkan dari perhitungan nasional, maka tingkat tes PCR nasional akan anjlok karena sebagian dari jumlah tes PCR tersebut disumbangkan oleh Provinsi DKI Jakarta.
Tes PCR provinsi DKI Jakarta sendiri jumlahnya sudah mencapai 95.459 tes orang satu juta penduduk.
“Selain peningkatan tes secara masif, strategi pengendalian mobilitas penduduk perlu dibuat secara matang dengan kadar yang berbeda untuk tiap daerah sesuai dengan kondisi pandeminya,” saran Taqin. (Red)