MENARA tua yang berada di tengah-tengah Kota Jambi ini, terletak di Jalan Selamet Riyadi, Murni Kecamatan Danau Sipin Kota Jambi. Bangunan itu masih berdiri dengan kokoh.
Tampak pula di sekitar menara tua itu ada beberapa pohon “glondokan” sehingga menampakan kesan yang masih asri dadan rindang.
Di sekitar menara tampak berjejer beberapa kendaraan yang terparkir disana dan di sebelah sisi kanannya tampak Kantor PDAM Tirta Mayang.
Ketika menyambangi ke sana , ada beberapa warga yang datang, ternyata keperluan mereka untuk membayar tagihan air bersih atau rekening PDAM.
Lokasi itu di seberang Museum Perjuangan Rakyat Jambi, sedangkan di sebelah sisi kirinya selang beberapa bangunan ada Masjid Al Falah yang dikenal mesjid Seribu Tiang yang merupakan ikon Kota Jambi.
Bangunan menara itu bercat kuning, sayang sebagain cat tampak sudah kusam dan sudah mulai pudar dan juga sebagian dindingnya sudah berlumut.
“Tak banyak orang yang tahu bahwa menara tersebut pernah menjadi simbol perjuangan pemuda Jambi pada masa kolonial Belanda.” Mislan Wa’ir, tokoh masyarakat sekitar lokasi itu.
Pemerintah kolonial pada zaman itu namanya ‘Stadfon’ mendirikan menara air dengan nama bahasa Belanda ‘water leding bedrif’ , masyarakat Jambi mengenalnya dengan sebutan ledeng.
Pada bangunan utama tertera bahwa menara tersebut dibangun pada tahun 1928 oleh kolonial Belanda sebagai tempat untuk instalasi penyimpanan dan penyaringan air.
“Dahulu di sekitar menara tersebut adalah kawasan benteng Belanda. Posisi dari benteng tersebut terletak di Masjid Agung Al Falah atau Mesjid Seribu Tiang yang didirikan pada tahun 1997,” kata Mislan Wa’ir.
“Sedangkan untuk lapangan benteng terletak di depan menara tersebut yang saat ini menjadi Museum Perjuangan Rakyat Jambi dan menara air yang disebut ‘water leding bedrif’,” tambahnya.
Pada saat itu menara air adalah sebagai instalasi pengolahan air yang hanya berkapasitas 7 liter per detik. Dengan kapasitas itu hanya melayani penyaluran air ke rumah-rumah tertentu seperti ke rumah Dinas Gubernur, rumah potong hewan dan kantor pemadam kebakaran.” kata Rendi Aditya, Kepala Bidang Humas PDAM Tirta Mayang.
Selain digunakan untuk menyalurkan air ke beberapa rumah tersebut, menara itu juga dimanfaatkan oleh para tentara Belanda untuk memantau gerak-gerik warga pribumi atau siapa saja yang melewati Sungai Batanghari melalui celah-celah jendela yang ada pada bangunan menara utama.
Menara ini terdiri dari tiga buah bangunan, satu buah bangunan yang paling tinggi yaitu tiga tingkat, merupakan bangunan induk , dan dua buah bangunan yang lebih rendah yaitu 2 tingkat yang terletak disamping kanan dan kirinya dengan luas bangunan berdiameter 936 meter persegi dan tinggi menara 24,150 meter
Menara air Kota Jambi itu menjadi salah satu tempat yang bersejarah di Provinsi Jambi karena digunakan oleh para pemuda pejuang pada waktu itu sebagai tempat pertama kali yang di gunakan untuk pengibaran Bendera Merah Putih pada tanggal 19 Agustus 1945. Setelah mendengar teks proklamasi Ir Soekarno melalui siaran radio.
“Para pejuang pada waktu itu mencari bangunan atau menara mana yang paling tinggi, sehingga dipilihlah oleh para pemuda pada waktu itu menara air benteng tersebut yang dipelopori oleh dua pemuda yaitu R Husin Akip dan M Amin Aini dengan dikawal oleh beberapa pemuda sehingga berkibarlah bendera tersebut di bangunan menara utama.” kata Rendi Aditya.
Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia melalui pemerintahan di Jambi mengambil alih menara tersebut dan kemudian oleh Kota Jambi difungsikan dan menjadi Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Tirta Mayang untuk pertama kali pada tahun 1974.
Pada saat itu juga kapasitas yang pada mulanya hanya 7 liter per detik, setelah diambil alih pemerintah Kota Jambi kapasitasnya pun meningkat menjadi 28 liter per detik, 4 kali lipat dari awalnya yang hanya menyalurkan ke rumah dinas gubernur, rumah potong hewan, dan rumah kantor pemadam kebakaran. Selanjutnya melayani ke rumah-rumah warga yang berada di sekitar menara benteng tersebut.
Seiring dengan perluasan daerah Kota Jambi, akhirnya Pemerintah Kota Jambi memutuskan untuk membuat PDAM di kawasan Broni dengan kapasitas yang jauh lebih besar serta penyaringan air yang lebih baik dengan didukung oleh instalasi-instalasi penyaluran yang modern.
Sejak pembangunan menara air benteng pada tahun 1928 tidak banyak yang berubah. Tangga yang ada pada bangunan utama masih berbentuk lurus memiring dengan menggunakan besi yang dilas. Sehingga kesan seperti berada di zaman kolonial.
“Menara yang terdiri dari atas 3 bangunan tersebut kini sudah tidak digunakan lagi mengingat bangunan yang sudah termakan usia serta instalasi-intstalasinya sudah banyak yang rusak sehingga apabila diperbaiki akan memakan dana yang cukup besar.
Maka dari itu dibangunlah instalasi PDAM yang ada di Broni yang merupakan salah satu yang terbaik dan jauh lebih modern.”
“Setelah PDAM yang berada di Broni selesai dikerjakan pada tahun 2018 sudah jadi akhirnya menara air benteng tersebut tidak digunakan lagi, kini hanya dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan barang-barang milik PDAM Tirta Mayang.”
Pemerintah dan PDAM Tirta Mayang telah melakukan perencanaan yang intinya akan memugar kembali menara air Benteng itu tanpa meninggalkan sidikitpun bentuk keasliannya.
“Mudah-mudan bisa segera terealisasi,” kata Rendi Aditya. (Red)