‘PRESTASI’ baru diberikan Bank Dunia pekan lalu atau sepekan menjelang usia pemerintahan Jokowi periode kedua menginjak tahun pertama. Di tengah upaya mati-matian yang dilakukan pemerintah dalam menangani dan mengatasi dampak penyebaran pademi corona, mereka memasukkan Indonesia ke dalam 10 negara dengan utang luar negeri (ULN) terbesar di bangsa berpendapatan rendah dan menengah.
Mengutip laporan Bank Dunia bertajuk International Debt Statistics 2021, utang luar negeri Indonesia sudah tembus US$402,08 miliar pada 2019. Utang tersebut membuat Indonesia masuk ke peringkat 6 negara berpendapatan rendah dan menengah dengan jumlah utang terbesar.
Utang tersebut meningkat hampir tiga kali lipat jika dibanding 2009 lalu yang masih US$179,4 miliar. Utang juga meningkat hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan Oktober 2014, atau saat pertama kali Jokowi menjadi presiden.
Menteri Keuangan Sri Mulyani pernah mengatakan utang sebenarnya bukan masalah baru bagi Indonesia. Utang bahkan sudah menjerat Indonesia sejak merdeka dari penjajahan Belanda. Ia menuturkan Indonesia memiliki warisan utang pemerintah kolonial sebesar US$1,13 miliar usai mendapat pengakuan kemerdekaan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949.
Utang itu berasal dari kekayaan yang rusak akibat perang serta seluruh investasi sebelumnya yang dibekukan oleh pemerintah Belanda. Utang belakangan memang terus meningkat. Peningkatan itu tidak terhindarkan. Itu terjadi karena kebutuhan negara, termasuk untuk pembangunan infrastruktur yang memang digenjot Jokowi di era pemerintahannya, memang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Apalagi, di tengah peningkatan itu, penerimaan negara yang harusnya jadi sumber pembiayaan tidak pernah bisa 100 persen menutup kebutuhan belanja. Utang bahkan membengkak jadi US$413,4 triliun pada Agustus 2020. Pembengkakan terjadi karena pandemi corona.
Maklum, pandemi telah melumpuhkan ekonomi tak hanya dunia, tapi juga dalam negeri. Pada kuartal II kemarin, ekonomi dalam negeri anjlok sampai minus 5,32 persen akibat penyakit itu. Supaya penurunan kinerja ekonomi tidak semakin menjadi pemerintah menggelontorkan anggaran Rp695,2 triliun untuk memulihkan ekonomi nasional.
Anggaran digunakan untuk bantuan sosial sebesar Rp203,9 triliun, UMKM sebesar Rp123,46 triliun, insentif usaha Rp120,61 triliun, kementerian/lembaga atau pemerintah daerah Rp106,11 triliun, kesehatan Rp87,55 triliun, dan pembiayaan korporasi Rp53,55 triliun.
“Hal ini (utang pemerintah naik) disebabkan oleh peningkatan kebutuhan pembiayaan untuk menangani masalah kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional akibat covid-19,” ungkap pemerintah, dikutip dari dokumen APBN KiTa, Jumat (16/10).
Bukan hanya nominal utang yang meningkat, tapi rasionya terhadap produk domestik bruto (PDB) juga naik dari tahun ke tahun. Tercatat, rasio utang pada Oktober 2019 masih di bawah 30 persen, yakni 29,87 persen.
Sekarang, rasio utang pemerintah sudah tembus 30 persen terhadap PDB. Tepatnya, rasio utang kini di level 34,53 persen terhadap PDB. Meski naik, tapi posisinya terbilang aman. Sebab, rasio utang masih di bawah batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang sebesar 60 persen terhadap PDB.
Sementara itu, khusus utang luar negeri pemerintah juga terlihat naik dari tahun ke tahun. Data statistik Bank Indonesia (BI) menunjukkan jumlah utang pemerintah pada Oktober 2019 sebesar US$199,16 miliar. Angkanya terus naik hingga akhir 2019 menjadi sebesar US$199,87 miliar. Selanjutnya, data terakhir pada Agustus 2020 tercatat total utang pemerintah tembus US$200,14 miliar.
ULN paling banyak digunakan untuk jasa kesehatan dan kegiatan sosial, yakni sebesar US$47,38 miliar. Lalu, sektor pendidikan sebesar US$32,98 miliar, administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib sebesar US$23,7 miliar, serta konstruksi sebesar US$33,06 miliar.
Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM) Akhmad Akbar Susamto mengatakan utang adalah hal yang wajar dilakukan oleh pemerintah. Bahkan, sejumlah negara yang dianggap maju seperti Amerika Serikat dan China pun memiliki utang dan selalu bertambah setiap tahunnya.
Dengan kata lain, utang bukanlah sesuatu yang buruk. Asalkan, utang dijadikan sebagai alat pengungkit ekonomi guna membiayai kebutuhan yang belum bisa dipenuhi dengan anggaran negara yang jumlahnya terbatas.
“Asalkan utang digunakan untuk hal-hal yang produktif, utang harus ada manfaatnya, manfaatnya harus lebih besar dari jumlah utang, risiko utang, dan biaya atau bunga utang itu,” ujar Akhmad.
Ia menambahkan meski terlihat besar utang di Indonesia sejauh ini masih sehat. Pasalnya, rasio utang baru 34,53 persen terhadap PDB atau jauh di bawah batas maksimal yang diatur dalam UU Keuangan Negara.
Selain itu, rasio utang Indonesia juga masih lebih baik dibanding beberapa negara lain yang sudah mencapai 50 persen atau bahkan 100 persen terhadap PDB. Jika dibandingkan dengan Malaysia misalnya, Sri Mulyani pernah menyebut rasio utang Malaysia sudah mencapai 55,6 persen terhadap PDB pada 2019. Pun begitu dengan Singapura yang rasio utangnya sudah tembus 113,6 persen terhadap PDB pada tahun lalu.
“Batas maksimal rasio utang 60 persen ini kesepakatan internasional, tapi tidak hitam putih. Ada kesepakatan bahwa batas aman sebuah negara 60 persen, itu diadopsi oleh beberapa negara untuk dijadikan sebagai acuan,” papar Akhmad.
Kendati masih di bawah batas maksimal, tapi Akhmad mengingatkan agar pemerintah tidak terlena. Pemerintah harus tetap menghitung secara detail bagaimana dampak ke negara jika ingin mengajukan utang baru.
“Rasio utang 60 persen ini kan kesepakatan, tapi prinsipnya pemerintah tetap perlu waspada kalau rasio meningkat drastis. Misalnya, biasanya hanya 30 persen lalu naik menjadi 35 persen, itu perlu berpikir kenapa,” ujar Akhmad.
Untuk saat ini, berutang banyak adalah sesuatu yang wajar. Maklum, pemerintah butuh banyak dana untuk menangani pandemi covid-19. Hanya saja, kalau situasinya sudah normal, penambahan utang dalam jumlah signifikan perlu dipikirkan ulang. Jangan lupa, sambung Akhmad, rasio utang perlu diamati secara berkala.
“Sekarang ada krisis ekonomi, rasio utang naik wajar. Kalau situasi normal, harus dilihat lagi untuk apa, apa yang dihasilkan dari utang. Tidak perlu nunggu rasio 60 persen dulu baru diamati, tapi amati terus,” jelas Akhmad.
Ia bilang utang harus digunakan untuk hal-hal yang sifatnya produktif dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai, utang digunakan untuk kegiatan nonproduktif. “Jangan sampai mempertimbangkan untuk berutang selain untuk kepentingan rakyat,” imbuh dia.
Menurut dia, tanpa utang, kemiskinan di dalam negeri yang sudah naik naik sejak awal tahun akibat covid-19 akan terus membengkak. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan jumlah orang miskin sudah naik menjadi 26,42 juta orang pada Maret 2020. Padahal, jumlah orang miskin pada Maret 2019 lalu hanya sebanyak 25,14 juta orang dan September 2019 sebanyak 24,79 juta orang.
“Ini dampak pandemi, karena pandemi jadi banyak yang jatuh miskin. Kalau negara tidak berutang, justru naiknya lebih banyak lagi. Masyarakat kalau tidak dibantu situasinya akan lebih parah,” tutur Akhmad.
Ia menambahkan dengan berutang, pemerintah bisa memberikan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat yang terdampak pandemi. Beberapa bentuk bansos yang diberikan berupa bantuan langsung tunai (BLT) kepada pekerja bergaji di bawah Rp5 juta, BLT untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), dan Program Kartu Prakerja untuk masyarakat yang terkena PHK.
“Itu kan sebagian besar dari utang,” ucap Akhmad.
Segendang sepenarian, Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listyanto berpendapat utang bukan hal tabu untuk dilakukan oleh pemerintah. Menurutnya, hampir 200 negara juga memiliki utang.
“Yang penting utang benar-benar digunakan untuk hal yang produktif. Jangan untuk kegiatan nonproduktif,” terang Eko.
Contoh kegiatan produktif salah satunya adalah membangun infrastruktur di dalam negeri. Jika pembangunan infrastruktur sudah merata, biaya ekonomi yang harus ditanggung masyarakat lebih rendah dan daya saing nasional meningkat. Sementara, kegiatan nonproduktif salah satunya adalah membiayai gaji aparatur sipil negara (ASN). Belanja rutin seperti itu hanya akan memberikan keuntungan bagi yang menerima, misalnya ASN tersebut.
“Belanja karyawan itu nonproduktif, itu belanja rutin. Belanja produktif bulan belanja rutin,” jelas Eko.
Sumber: CNN