WAKIL Ketua Badan Legislasi DPR RI Willy Aditya ingin Rancangan Undang-Undang Pemilihan Umum (RUU Pemilu) mengatur persyaratan harus mundur bagi peserta pemilihan umum dari lingkup aparatur sipil negara (ASN), TNI, dan Polri dalam jangka waktu dua tahun enam bulan sebelum pelaksanaan pemilu.
Ia mengatakan persyaratan itu dibutuhkan agar tidak ada lagi daerah yang kehilangan perangkat daerah-nya setiap menjelang waktu pendaftaran pemilu.
“Mundurkan dua setengah tahun saja, karena masa pergantian (jabatan) mereka (ASN) setiap dua tahunan kan? Jadi bagi TNI, ASN, dan Polri, kalau mau maju pemilihan kepala daerah atau pemilihan legislatif, mundur dua setengah tahun (sebelum pemilihan). Kita tidak ingin rakyat kita yatim-piatu,” kata Willy di Kompleks Parlemen RI, Selasa (17/11).
Selain itu, Willy menilai persyaratan harus mundur tersebut dapat menghindarkan ASN, TNI, dan Polri dari kegiatan politik praktis.
Willy mengatakan di masa Orde Baru, terjadi apa yang namanya dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Di masa kini, ia khawatir demokrasi Indonesia rusak dengan munculnya dwifungsi Polri.
“Kami tidak ingin demokrasi kita berbau Polri, begitu. Kita harus terbuka saja, banyak Kapolres, banyak Kapolda yang mau maju, injak kaki injak kepala. Iya itu, kita harus terbuka saja,” tutur Willy.
Willy pun bercerita tentang daerah yang Bupati dan Wakil Bupati-nya pecah kongsi gara-gara ingin mencalonkan diri sebagai kepala daerah. Lalu, Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi yang mencalonkan diri melawan Gubernur, bahkan ada Kepala Dinas yang menantang Wali Kota.
“Kalau semua perangkat daerah ingin berkuasa, lalu siapa yang melayani rakyat? Layanan publik terbengkalai,” ujar Willy.
Sehingga, anggota Komisi I DPR RI itu berpandangan bahwa kegiatan politik praktis ASN, TNI, dan Polri ini harus diatur dalam RUU Pemilu yang diusulkan oleh Komisi II DPR RI.
“Kalau tadi spirit kakak Doli (Ahmad Doli Kurnia, Ketua Komisi II DPR RI) dan bang Saan (Mustopa, Wakil Ketua Komisi II DPR RI) tadi ingin memajukan demokrasi, ya penyalahgunaan kekuasaan itu kan oleh aparatur negara. Maka aparatur negaranya, kemudian risiko moralnya yang benar-benar ingin kami cegah. Jadi ASN, TNI, Polri, kalau mau maju, dua setengah tahun harus mundur,” kata Willy.
Menanggapi usulan tersebut, Doli mengatakan di dalam draf RUU tentang Revisi UU Nomor 7 Tahun 2017 sudah ada aturan harus mundur permanen bagi peserta pemilu yang menjabat sebagai ASN, TNI, dan Polri.
“Yang sudah ada sekarang, ASN, TNI, Polri itu kalau mau maju Pilkada harus mundur permanen,” kata Doli.
Willy kemudian memperjelas lagi bahwa yang dia maksud adalah aturan tentang waktu mundur. “Oh, waktu mundur. Ok,” ucap Doli.
Lebih lanjut, Doli mengatakan draf revisi UU Pemilu berisi 741 pasal dan 6 buku. RUU tersebut akan mengubah rezim kepemiluan menjadi satu rezim dan satu undang-undang. Undang-undang mengenai Pilkada dan Pemilu sebelumnya akan dicabut jika RUU ini diterapkan. (Red)