Oleh: Pepy Afrilian, M. Par
PANDEMI Covid-19 yang melanda dunia berdampak besar terhadap sektor pariwisata. Tidak terkecuali pariwisata Indonesia. Sektor pariwisata mati suri, dari transportasi, hotel, rumah makan, penjual souvenir, quide dan profesi lainnya.
Menurut data Organisasi Pariwisata Dunia (UNWTO) jumlah kunjungan wisatawan di seluruh dunia menurun 44 persen selama pandemi Covid 19 ini.
Data BPS menyatakan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia bulan Agustus 2020 mengalami penurunan yang signifikan sebesar 89,22 persen dibandingkan dengan jumlah kunjungan pada Agustus 2019.
Dampak Covid 19 ini merubah tatanan dunia. Sektor pariwisata misalnya terjadi pergeseran pasar, perubahan prefensi pasar. Pemerintah dan pengelola pariwisata harus mengambil langkah dan strategi agar sektor pariwisata yang menyumbang cukup besar untuk devisi dan tenaga kerja bisa bertahan.
Bila kita lihat ke belakang saat munculnya berita covid-19 di Wuhan beragam tangapan pemerintah dan masyarakat Indonesia.
Respon penyangkalan (seperti tidak percaya, merasa masih jauh dari Indonesia), kemudian respon lainnya mulai berhati-hati (seperti kaget, terus memantau media dan berduka dengan kondisi di Wuhan).
Khusus bagi wisatawan masih ingin berwisata, membuat planning perjalanan dan hunting tiket untuk perjalanan ke luar negeri.
Setelah Covid-19 masuk ke Indonesia beberapa warga positiv, respon masyarakat adalah mass-hysteria, panik dan ditambah dengan keputusan beberapa negara tujuan wisata menutup daerahnya sehingga pembatalan tiket secara masal.
Dikutip dari tempo.co pada 24 maret 2020. Traveloka sebagai salah satu perusahan dengan website dan aplikasi pemesanan tiket pesawat dan hotel paling dikenal di Indonesia mengalami ribuan permintaan untuk refund atau reschedule tiket yang telah dipesan.
Akibatnya banyak pengusaha dibidang pariwisata yang gulung tikar. Hotel hotel banyak yang memutuskan hubungan kerja (PHK) dan sebagian menambah cuti tanpa bayaran. Para quide, perajin dan sektor lain mencoba bertahan dengan beralih profesi lain untuk sementara.
Pada fase ini, pengelola pariwisata berusaha bangkit dengan saling bergandeng tangan saling menguatkan untuk mulai mencari alternative wisata lain yang dapat ditawarkan sehingga masyarakat mau melakuan kegiatan wisata.
Salah satunya Wellness Tourism (dimana wisata untuk kesehatan, kebugaran), Eco Tourism (wisata mengutamakan pengalaman dengan lingkungan), Staycation (berlibur pada tempat yang tidak jauh dari rumah/tempat tinggal), Solo Travel Tour/Family Tour (berwisata dengan kapisitas yang kecil), sampai Virtual Tour.
Alternative pariwisata ini yang ditawarkan ke calon wisatawan khususnya wisawatan lokal untuk melakukan wisata dengan tetap memenuhi standar protocol kesehatan. Namun, calon wisatawan masih banyak yang ragu berwisata meskipun diberikan beberapa alternative wisata yang dapat dilakukan di masa pandemic ini.
Selanjutnya, penghujung akhir tahun 2020 setelah PSBB diberlakukan dan masyarakat banyak dirumah. Muncul kerinduan untuk berlibur. Dengan tetap menerapkan protokol kesehatan, hotel hotel dan objek wisata mulai dibuka.
Dikutip dari Anshul Grag.2015.Travel Risk Vs Tourist Decision Making, keputusan berwisata mengikuti dua perspektif yang berbeda. Yang pertama wisatawan untuk mengambil keputusan berwisata dari perspektif pengambilan keputusan yang terkait dengan sikap, keyakinan, prespektif resiko, sifat dan kepribadian, kemudian yang kedua dari prespektif memprediksi pengemabilan keputusan, dan pilihan destinasi untuk memaksimalkan utilitas.
Mari bedah satu persatu, keputusan pertama terkait dengan sikap dan prilaku. Sikap masyarakat yang sudah bosan dirumah, kemudian sikap yang sudah lelah dengan berita yang simpang siur tentang covid-19. Akhirnya masyarakat melakukan perjalanan untuk mengganti suasana dan kegiatan out door lainnya.
Pemilihan lokasi yang cocok untuk berwisata adalah lokasi yang tidak sempit (seperti lereng pegunungan, lokasi yang luas, meskipum lokasi nya sempit tapi tetap memikirkan Carrying capacity). Sementara para wisatawan yang hidup di kota besar lebih memilih staycation di hotel.
Momentum cuti bersama di akhir bulan Oktober 2020, di Kota Bandung tingkat hunian hotel mencapai 70 persen. Begitu juga di Yogjakarta dan kota kota besar lainnya ada kenaikan tingkat hunian hotel.
Lalu bagaimana dengan wisatawan dengan tipologi allocentris yaitu wisatawan yang ingin mengunjungi tempat-tempat yang belum diketahui dan bersifat berpetualangan ini mulai dengan sport tourism seperti ramai nya yang mengunjungi beberapa tempat wisata dengan bersepada bahkan wisata paralayang pun juga mengalami peningkatan jumlah kunjungan yang signifikan.
Dalam suasana covid 19 ini sektor pariwisata harus berjalan untuk peningkatan ekonomi berbasis kerakyatan dengan tetap mengedepankan strandar protocol kesehatan.
Penulis adalah Dosen Pengampu Mata Kuliah Pariwisata Syariah IAIN Batusangkar