ANGGOTA Komisi VII DPR RI Mulyanto mengingatkan agar pemerintah tidak menerapkan penghapusan BBM jenis premium mulai Januari 2021 karena saat ini masyarakat masih mengalami fenomena pelemahan tingkat daya beli di tengah situasi pandemi.
“Saat ini, daya beli masyarakat sedang lemah karena terdampak pandemi COVID-19,” kata Mulyanto, Selasa (24/11).
Menurut dia, rencana penghapusan BBM jenis premium mulai Januari 2021 di seluruh wilayah Pulau Jawa, Madura dan Bali akan menambah beban hidup masyarakat. Ia menegaskan, dirinya bukan anti kepada BBM ramah lingkungan, namun dia meminta solusi alternatif bagi masyarakat bila ingin menghapus premium.
“Pemerintah harus memiliki rencana buffering-nya dan mitigasinya. Kalau Premium dihapus, apa alternatif BBM murah untuk masyarakat? Apakah kompensasi atas penugasan Pertamina untuk Premium ini dialihkan ke BBM yang tersisa, sehingga harganya sama dengan harga premium? Kalau itu, mungkin tidak ada penentangan dari masyarakat,” kata Mulyanto.
Kendati demikian, Mulyanto meminta agar pemerintah dapat mengkaji ulang rencana penghapusan tersebut. Sebelumnya, Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, menilai positif rencana penghapusan Premium di Jawa, Madura, dan Bali (Jamali), pada Januari 2021, karena hal itu sangat mendukung komitmen Presiden Joko Widodo pada Paris Agreement.
Untuk itu, menurut dia, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) diminta segera merevisi aturan mengenai pendistribusian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium, terutama di Jamali.
“Aturan kewajiban pendistribusian Premium bertolak belakang dengan Paris Agreement. Untuk itu tak ada jalan lain, Kementerian ESDM harus segera merevisi aturan tersebut, sehingga tak ada lagi kewajiban pendistribusian Premium dan ini bisa diawali di Jamali,” ujar Mamit di Jakarta, Senin (16/11).
Revisi aturan, lanjutnya, sangat penting baik sebagai bentuk dukungan terhadap Paris Agreement dan sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
“Dengan demikian revisi memang harus dilakukan. Indonesia akan jadi sorotan internasional jika kebijakannya bertolak belakang dengan komitmen Presiden dalam Paris Agreement,” kata dia. (Red)