JAMBI – Dinas Kebudayaan dan pariwisata (Disbudpar) Provinsi Jambi melalui UPTD Taman Budaya Jambi (TBJ) memberikan ilmu dan pengalaman baru bagi wartawan-wartawan muda lewat Workshop Kritik Sastra, Kamis sampai Jumat 4 Desember 2020 di Gedung Teater Arena TBJ kawasan Kambang, Kota Jambi.
Kepala TBJ, Didin Sirojudin menuturkan peserta tidak dipungut biaya apapun tetapi sejak akhir November 2020 kuota telah penuh dan terpaksa menolak pendaftaran karena harus mematuhi protokol kesehatan covid-19.
“Saat kita sampaikan melalui pesan dan kita pasang pengumuman melalui banner di depan TBJ, peminat begitu luar biasa namun terpaksa di tolak dan dibatasi karena di masa pandemi harus kita patuhi protokol kesehatan,” kata Didin.
Peserta diingatkan oleh penyelenggara wajib mematuhi protokol kesehatan covid-19, demi kelancaran dan keamanan kegiatan.
“Terpenting patuh protokol kesehatan (Prokes) dalam menjalankan 3M; Menjaga jarak, Mencuci Tangan, dan Memakai Masker. Semua demi keamanan bersama, tidak ada toleransi di masa pandemi covid-19. Kegiatan ini dapat berlangsung karena kita diharuskan mematuhi 3M, diharuskan dapat menjaga bersama,” kata Didin.
Pada Jumat, acara dipandu oleh Nukman dari Kantor Bahasa Provinsi Jambi. Hadir selaku narasumber Dr. Ipit Saefidier Dimyati selaku Dosen Pengajar Institut Seni dan Budaya Indonesia/ISBI Bandung memberikan materi dihadapan 50 peserta workshop. 50 persen berasal dari wartawan atau insan pers, sedangkan lainnya berasal dari penggiat sastra, penulis, mahasiswa, dan umum.
Materi berjudul ‘Kritik Seni: Sebuah Pendekatan Holistik’ Dr. Ipit Saefidier Dimyati menuturkan Kritik seni sebagai kegiatan yang melakukan penilaian terhadap karya seni tentu saja titik tolak utamanya adalah bentuk atau gaya yang diciptakan oleh seniman.
Akan tetapi, untuk sampai pada kesimpulan bahwa bentuk yang disajikan seniman itu indah atau tidak indah, menarik atau tidak menarik, serta memiliki makna atau tidak, maka kritikus terlebih dulu harus bisa mengungkapkan pokok soal, tema, atau pesan yang ingin disampaikan oleh seniman melalui karya seni yang diciptakannya.
Pertanyaan pertama yang semestinya muncul dalam benak kritikus adalah “Apa yang ingin disampaikan seniman melalui karya seni yang diciptakannya itu?”. Setelah itu, “Apakah medium yang disusunnya menjadi bentuk itu memadai atau berhasil mengungkapkan pokok soal yang ingin disampaikannya?” Jika jawabannya positif, maka pertanyaan yang muncul selanjutnya, “Mengapa bentuk itu memadai atau bisa berhasil mengungkapkan pokok soal yang ingin disampaikan seniman?”
Jika sebaliknya, “Mengapa bentuk itu tidak memadai dan tidak berhasil mengungkapkan pokok soalnya?” Pertanyaan selanjutnya, “Apakah bentuk yang disajikannya itu sebagai sesuatu yang original atau hanya mengikuti satu konvensi tertentu?”
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, setiap kritikus memiliki langkah-langkah yang berbeda. Akan tetapi secara umum langkah-langkah itu bisa dirumuskan seperti berikut di bawah ini.
Hal pertama yang harus diperhatikan kritikus adalah bahwa menikmati karya seni semestinya disikapi sebagai sebuah “pertemuan”. Artinya, dalam mengapresiasi karya seni sebaiknya kritikus tidak terlebih dulu mempersiapkan diri sebagai orang yang menilai dengan segudang rumus yang telah ada di benaknya, tetapi masuk ke dalam karya seni itu dengan tanpa membentengi diri dengan asumsi-asumsi.
Jika menggunakan metafor, karya seni itu seperti arus yang membawa hanyut para penikmatnya ke suatu arah. Agar para penikmatnya bisa sampai ke arah tersebut, maka mereka semestinya tidak melawan arus, tetapi mengikutinya ke mana pun dibawa pergi. Penikmatan serupa itu bisa disebut sebagai apresiasi empatik, yakni apresiasi yang mencoba menghilangkan dikotomi antara diri sebagai subjek dan karya seni sebagai objek.
“Setelah melakukan “pertemuan”, langkah selanjutnya adalah melakukan distansi, atau penjarakan dengan karya seni. Melalui distansi inilah penilaian terhadapkarya seni bisa dilakukan. Akan tetapi, sebelum sampai pada pertimbangan tentang baik dan buruk atau indah dan tidak indah, kritikus terlebih dulu mesti melakukan beberapa tahap kerja analisis. Paling tidak ada empat tahap kerja yang harus dilaluinya,yaitu: deskripsi, interpretasi, analisis formal, dan evaluasi,” katanya.
Sebelumnya di hari pertama Kamis, menghadirkan narasumber Ricky A Manik selaku Cerpenis, Penulis dan Peneliti di Kantor Bahasa Provinsi Jambi, H. Mursyid Sonsang, M.Pd selaku Mantan Ketua PWI dua periode, Ketua Ikatan Alumni Lemhannas (IKAL) Provinsi Jambi, Pendiri SMSI, Pendiri dan Dewan Pembina JMSI.
Ricky A Manik dengan materi bertajuk ‘Berkenalan dengan Kritik Sastra’ menyampaikan bahwa Seni bukan suatu kerumunan, tak pernah biasa dan sekadar. Seni itu jenius, ars, kesempurnaan paripurna. Seni mengandung genus dan unsur pembeda. Dalam seni bukan saja ada prosedur, metode, hukum konstruksi,
tetapi jg perusaknya. Seni adalah alat pengoptimalan objeknya.
Tulisan merupakan tujuan seni penulisan adalah objek yg optimum, supreme, terintesifikasi dan ekstensifikasi. intensifikasi artinya hasil eskploitasi dan eksplorasi kekuatan, potensi objeknya secara optimal. Ekstensifikasi artinya menemukan potensi baru, ladang baru, kekuatan baru, konsekuensi pengintensifannya.
“Sastra sebagai seni penulisan merupakan karya jenius, sempurna, yang di dalamnya terdapat prosedur, metode, hukum konstruksi, bahkan dekonstruksi. Sastra merupakan karya yg telah terintensifkan dan terekstensifkan oleh penulisnya, begitu kritik sastra sebagai seni penulisan,” jelasnya.
Mengapa menulis kritik sastra,? “Sastra merupakan seni tulisan dengan unsur estetik yang dominan. Sebagai sebuah seni yg bukan biasa2, sastra terkadang sulit dipahami pembaca. Oleh karena itu, dibutuhkan tanggapan (tulisan) untuk memudahkan audiens dalam memahami karya sastra dan mampu melihat kekayaan atau kompleksitasnya. Kritik sastra dapat menjadi petunjuk jalan bagi audiens karena ia merupakan percakapan timbal balik antara kritikus dan pembaca,” katanya.
Lalu TBJ juga hadirkan sosok wartawan senior di Jambi, Mursyid Sonsang, membeberkan materi seputar teknik menulis dan kode etik jurnalistik. “Dalam penulisan perlu diperhatikan soal keterbacaan: kalimat tidak lebih dari 25 kata, lebih baik di bawah 20 kata serta menggunakan kalimat aktif,” katanya.
Sedangkan terkait kode etik jurnalistik, berfungsi untuk melindungi wartawan atau jurnalis dalam melaksanakan fungsi, tugas, hak dan kewajiban. “Kode Etik Jurnalistik ditandatangani oleh 26 organisasi wartawan dan 3 organisasi pers lainnya di Jakarta,” Ungkap Mursyid Sonsang, yang juga ketua Forum Jurnalis Migas (FJM) Jambi.
Salah satu peserta workshop yang juga Ketua Yayasan Teater AiR, Titas Suwanda berharap dengan adanya peserta workshop dari kalangan wartawan dapat melahirkan penulis kritik seni dari dunia media di Jambi.
“Saya berbahagia sekali, peserta workhsop ada rekan wartawan. Besar harapan kami selaku seniman, setelah menghasilkan karya lantas mendapat kritik yang dapat membangun seperti dulu ada di Jambi. Pada akhirnya akan meningkatkan kualitas karya, lama sekali belum terlihat generasi itu,” kata Titas Suwanda saat sesi tanya jawab.
Disisi lain, Hendry Nursal Ketua PWI Kota Jambi menyambut baik kegiatan workshop sastra yang dilaksanakan Taman Budaya Jambi, dengan harapan kedepan wartawan memiliki warna berbeda dan cakap dalam mengkritik karya seni.
“Ini sangat berharga bagi rekan wartawan, ilmu dan pengalaman berbeda didapat selama dua hari. Mungkin sebagian rekan wartawan yang mengikuti masih merasa asing dengan sastra atau seni, menariknya ada yang baru pertama kali memasuki gedung teater arena TBJ,” kata Hendry.
Tidak hanya wartawan muda termasuk dia merasakan manfaatnya dari workshop. Bahkan peserta wartawan menyampaikan harapan kegiatan sejenis dapat kembali diadakan, yang nantinya setelah sastra mungkin seni musik, seni tari, teater dan lainnya.
“Iini juga bukti walaupun di masa pandemi asalkan patuh protokol kesehatan Covid-19, semua bisa berjalan lancar. Saya terpacu untuk terus mengajak rekan wartawan agar lebih akrab, lebih mengenal seni, sehingga ada nyawa yang berbeda dalam setiap tulisan, terutama lahirnya generasi wartawan muda yang mampu menyajikan kritik seni seperti harapan seniman tadi,” kata Hendry. (*)