ERA REFORMASI, dikenal sebagai penanda tumbangnya Orde Baru, rezim yang lekat dengan praktik KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang sudah sedemikian menggurita.
Bahkan, sampai-sampai dibentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lembaga ad hoc yang ditugasi memberantas praktik-praktik korupsi, termasuk suap dan gratifikasi.
Ternyata, tujuan reformasi yang ingin memberangus praktik KKN tak lantas berjalan mulus, sebab ada pejabat negara yang justru terjerat kasus korupsi.
Berikut adalah sejumlah menteri yang pernah terjerat kasus korupsi di era reformasi:
- Hari Sabarno
Hari Sabarno adalah Menteri Dalam Negeri pada Kabinet Gotong Royong (Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz) yang terjerat kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran yang menyebabkan kerugian negara sekitar Rp97,2 miliar.
Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman pidana dua tahun dan enam bulan penjara kepada Hari Sabarno yang dinyatakan terbukti bersalah melakukan pidana korupsi dengan penunjukan langsung PT Satal Nusantara dan PT Istana Saranaraya sebagai perusahaan yang ditunjuk dalam pengadaan 208 mobil damkar di 22 wilayah seluruh Indonesia pada 2003 hingga 2005.
Hukuman terhadap Hari Sabarno ditambah menjadi lima tahun setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan kasasi jaksa penuntut umum (JPU) dengan nomor 1482/PIDIS 2012 yang membatalkan vonis PN Tipikor yang menghukum Hari Sabarno 2,5 tahun penjara.
- Bachtiar Chamsyah
Bachriar Chamsyah adalah Menteri Sosial pada Kabinet Gotong Royong dan Kabinet Indonesia Bersatu I (Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla) yang terjerat korupsi pengadaan mesin jahit dan sapi impor dengan kerugian negara Rp33,7 miliar.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi memvonis mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dengan hukuman satu tahun delapan bulan penjara dengan denda Rp50 juta.
- Sujudi
Achmad Sujudi adalah Menteri Kesehatan Kabinet Persatuan Nasional (K.H. Abdurrahman Wahid-Megawati) dan Kabinet Gotong Royong yang tersangkut korupsi pengadaan alat kesehatan pada 2003. Atas kasus tersebut, Sujudi divonis dua tahun tiga bulan penjara dan denda Rp100 juta.
- Rokhmin Dahuri
Rokhmin Dahuri adalah Menteri Kelautan dan Perikanan Kabinet Gotong Royong yang terjerat KPK karena telah mengumpulkan dana dari kepala dinas dan kepala unit yang mencapai Rp12 miliar serta pungutan dari luar departemen senilai Rp19 miliar dan seluruh uang tersebut kemudian masuk ke dalam rekening pribadi.
Ia dijatuhi hukuman selama tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Tipikor Jakarta pada Juli 2007, dan Rokhmin kemudian mengajukan banding yang putusannya justru menguatkan putusan tingkat pertama.
Demikian pula dengan upaya kasasi yang ditempuhnya ternyata kandas dan membuatnya tetap dihukum tujuh tahun penjara. Namun, upaya peninjauan kembali (PK) yang ditempuhnya dikabulkan MA dan hukumannya dikorting 2,5 tahun.
- Andi Alfian Mallarangeng
Andi Alfian Mallarangeng merupakan Menteri Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Indonesia Bersatu II (SBY-Boediono) yang terjerat korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan Sekolah Olahraga Nasional, Hambalang.
Andi Mallarangeng masih aktif menjadi Menpora saat kasus itu bergulir dan segera memutuskan untuk mengundurkan diri.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta memvonis mantan juru bicara presiden zaman SBY itu empat tahun penjara dan denda Rp200 juta, subsider dua bulan penjara.
- Suryadharma Ali
Suryadharma Ali adalah Menteri Agama pada Kabinet Indonesia Bersatu II dan Menteri Koperasi dan UKM Kabinet Indonesia Bersatu I (SBY-Jusuf Kalla).
Ia terseret tindak pidana korupsi dalam penyelenggaraan ibadah haji dan menyalahgunakan dana operasional menteri (DOM) saat masih menjabat Menag.
Akibat perbuatannya yang membuat negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp27,2 miliar dan 17,9 juta riyal, Suryadharma Ali dihukum enam tahun penjara, denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan dan uang pengganti Rp1,821 miliar.
- Siti Fadilah Supari
Siti Fadilah Supari adalah Menteri Kesehatan pada Kabinet Indonesia Bersatu I yang terseret kasus pengadaan alat kesehatan guna mengantisipasi kejadian luar biasa 2005 di Kemenkes, dan menerima suap Rp1,875 miliar dari PT Graha Ismaya sehingga negara Rp6,1 miliar.
Siti dihukum vonis penjara selama empat tahun dan wajib mengembalikan uang senilai Rp1,4 miliar, serta diwajibkan membayar denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan.
- Idrus Marham
Idrus Marham adalah Menteri Sosial pada Kabinet Indonesia Kerja (Joko Widodo-JK) yang terjerat kasus suap PLTU Riau 1 saat aktif menjabat sehingga kemudian memutuskan mengundurkan diri.
Pada tingkat pertama, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menjatuhkan hukuman tiga tahun penjara, serta diwajibkan membayar denda Rp150 juta subsider dua bulan kurungan.
Namun, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat Idrus menjadi lima tahun penjara di tingkat banding, serta diwajibkan membayar denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan.
Akhirnya, MA mengabulkan kasasi yang diajukan terdakwa Idrus dan membuat hukuman berkurang tiga tahun menjadi dua tahun penjara.
- Imam Nahrawi
Imam Nahrawi adalah Menteri Pemuda dan Olahraga pada Kabinet Indonesia Kerja yang terjerat kasus suap terkait pengurusan proposal dana hibah KONI dan gratifikasi dari sejumlah pihak. Setelah ditetapkan tersangka oleh KPK, Imam menyatakan mundur dari Menpora.
Imam Nahrawi divonis tujuh tahun penjara dan denda Rp 400 juta subsider tiga bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, karena terbukti bersalah dalam kasus suap terkait pengurusan proposal dana hibah KONI dan gratifikasi dari sejumlah pihak.
Selain pidana pokok di atas, majelis hakim juga menjatuhi pidana tambahan berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun, terhitung sejak Imam selesai menjalani pidana pokoknya.
Majelis hakim turut menghukum Imam membayar uang penganti senilai Rp 18.154.230.882, yang harus dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Jika tidak membayar, maka harta benda Imam dapat disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
- Edhy Prabowo
Edhy Prabowo merupakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) pada Kabinet Indonesia Maju (Jokowi-K.H. Ma’ruf Amin) yang terseret dugaan suap terkait perizinan ekspor benih lobster.
Edhy dicokok KPK saat tiba di Tanah Air usai melakukan kunjungan dari Hawai, 25 Desember 2020, kemudian setelah itu Edhy secara resmi mengundurkan diri sebagai Menteri KKP.
Saat ini, KPK telah menetapkan Edhy sebagai tersangka kasus dugaan penerimaan hadiah atau janji terkait perizinan tambak, usaha, atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya pada 2020.
- Juliari P. Batubara
Juliari P. Batubara adalah Menteri Sosial pada Kabinet Indonesia Maju yang tersangkut kasus dugaan suap bantuan sosial COVID-19. Setelah melakukan operasi tangkap tangan (OTT) atas pejabat Kementerian Sosial dan swasta, KPK pada 6 Desember 2020 dini hari menetapkan Juliari sebagai tersangka korupsi bansos COVID-19.
Tak lama setelah penetapan status tersangka, Juliari mendatangi Gedung KPK dan menyerahkan diri. Penetapan Juliari sebagai tersangka oleh KPK hanya berselang sembilan hari dari penetapan Edhy Prabowo, mantan Menteri KKP sebagai tersangka oleh KPK.
Penangkapan dua menteri terakhir, yakni Edhy Prabowo dan Juliari P. Batubara merupakan “tamparan” keras bagi Kabinet Indonesia Maju, apalagi mereka belum lama dilantik sebagai menteri.
Dengan terjeratnya dua menteri pada Kabinet Indonesia Maju dalam kasus dugaan korupsi, sejumlah kalangan pun menilai sudah saatnya Presiden Jokowi melakukan “reshuffle”, seperti disampaikan pengamat politik Universitas Jember Hermanto Rohman MPA.
Hermanto mengingatkan Presiden Jokowi bahwa saat inilah momentum untuk mengevaluasi kinerja para menteri di Kabinet Indonesia Maju agar kepercayaan masyarakat kepada pemerintah meningkat.
Terlebih, UU Nomor 2 Tahun 2020 yang menetapkan Perppu Nomor 01 tahun 2020 menyatakan bahwa ancaman COVID-19 sebagai ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan sistem keuangan negara sehingga perlu kebijakan “extra ordinary”, terutama dalam keuangan negara.
“Kebijakan tersebut salah satunya adalah kebijakan bantuan sosial COVID-19 oleh pemerintah dan memang bansos tersebut memang rawan disalahgunakan, namun Presiden Jokowi sebenarnya sudah mengingatkan untuk tidak main-main dalam penanganan COVID-19,” tuturnya.
Tak berhenti di situ, wacana pun berkembang pada ancaman hukuman mati bagi koruptor bansos COVID-19 karena pandemi virus corona jenis baru itu sudah ditetapkan sebagai bencana nasional nonalam.
Sejumlah pihak pun menyampaikan dukungannya atas penerapan hukuman mati bagi koruptor bansos COVID-19 karena sangat banyak rakyat Indonesia yang secara ekonomi terdampak dan tidak terpenuhi bantuan itu.
Seperti disampaikan pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya I Wayan Titib Sulaksana yang mengaku prihatin dengan penetapan dua menteri menjadi tersangka korupsi, apalagi korupsi terkait dengan dana bansos untuk masyarakat di tengah pandemi COVID-19.
Maka dari itu, Wayan menambahkan sanksi pidana paling adil untuk pejabat negara pidana mati merujuk pada Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tipikor yang diperbarui dengan UU Nomor 20 Tahun 2002.
Meski mencoreng kabinet Jokowi-Ma’ruf, penangkapan dua menteri itu di sisi lain juga mampu memulihkan nama baik lembaga antirasuah yang selama ini sempat diragukan pascarevisi UU KPK.
Apalagi KPK dalam sepekan ini juga melakukan serangkaian OTT yang menyeret setidaknya tiga kader PDI Perjuangan, yakni Bupati Banggai Timur Laut Wenny Bukamo, Wali Kota Cimahi Ajay Priatna, dan Mensos Juliari.
Wenny Bukamo ditangkap pada Kamis (3/12) dan telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan suap senilai Rp2 miliar proyek pengadaan jalan di daerahnya.
Ajay Priatna ditangkap KPK pada Jumat (27/11) dan telah ditetapkan menjadi tersangka lantaran diduga meminta komitmen fee sebesar Rp3,2 miliar terkait dengan izin pengembangan Rumah Sakit Umum Kasih Bunda Cimahi.
Pasti, masyarakat akan terus menanti perkembangan proses hukum kasus korupsi itu untuk memastikan para pelaku dihukum setimpal, dan mengungkap siapa saja yang terlibat.
Inilah saatnya bagi KPK untuk menunjukkan taringnya kembali dan membuktikan diri bahwa revisi regulasi justru menguatkan, bukan melemahkan taji institusi pemberantas korupsi.
Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (7/12) memanggil tujuh saksi dalam penyidikan kasus suap perizinan tambak, usaha, dan/atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya tahun 2020 untuk tersangka Menteri Kelautan dan Perikanan nonaktif Edhy Prabowo.
“Hari ini diagendakan pemanggilan dan pemeriksaan terhadap tujuh orang saksi untuk tersangka EP (Edhy Prabowo),” ucap Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri.
Mereka yang dipanggil, yakni pegawai PT DPPP Betha Maya Febiana, Lutpi Ginanjar seorang mahasiswa, wiraswasta Yudi Surya Atmaja, karyawan swasta Jan Saragih, Agustinus Jiuwengky dari pihak swasta, staf MKP Qushairi Rawi, dan pegawai finance PLI Kasman.
Selain Edhy, enam orang yang juga telah ditetapkan tersangka, yaitu Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Safri (SAF), Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Andreau Pribadi Misata (APM), swasta/Sekretaris Pribadi Menteri Kelautan dan Perikanan Amiril Mukminin (AM).
Selanjutnya pengurus PT Aero Citra Kargo (ACK) Siswadi (SWD), staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih (AF), dan Direktur PT Dua Putra Perkasa (DPP) Suharjito (SJT).
KPK dalam perkara ini menetapkan Edhy sebagai tersangka karena diduga menerima suap dari perusahaan-perusahaan yang mendapat penetapan izin ekspor benih lobster menggunakan perusahaan “forwarder” dan ditampung dalam satu rekening hingga mencapai Rp9,8 miliar.
Uang yang masuk ke rekening PT ACK yang saat ini jadi penyedia jasa kargo satu-satunya untuk ekspor benih lobster itu selanjutnya ditarik ke rekening pemegang PT ACK, yaitu Ahmad Bahtiar dan Amri senilai total Rp9,8 miliar.
Selanjutnya pada 5 November 2020, Ahmad Bahtiar mentransfer ke rekening staf istri Edhy bernama Ainul sebesar Rp3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy, istrinya Iis Rosyati Dewi, Safri, dan Andreau.
Antara lain dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan istrinya di Honolulu, AS pada 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta diantaranya berupa jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, dan baju Old Navy.
Selain itu, sekitar Mei 2020, Edhy juga diduga menerima 100 ribu dolar AS dari Suharjito melalui Safri dan Amiril. (Red)