JAMBI – Gentala Arasy salah satu aset milik Pemerintah Provinsi Jambi berupa menara jam setinggi 80 meter.
Di bawahnya terdapat museum sejarah dan peninggalan masa lampau Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah.
Selain itu, dibangun pula Jembatan Pedestrian Gentala Arasy, menghubungkan Tepian Tanggo Rajo di depan rumah dinas Gubernur Jambi dengan Menara Jam Gentala Arasy di Jambi Seberang Kota.
Jembatan pedestrian yang sekilas mirip huruf S ini, memiliki panjang kurang lebih 503 meter, dengan lebar 4,5 meter. Berdiri megah di atas Sungai Batanghari.
Gentala Arasy menjadi salah satu ikon Provinsi Jambi. Dibangun pada masa pemerintahan Gubernur Hasan Basri Agus.
Peresmiannya dilakukan oleh Wakil Presiden RI, HM Jusuf Kalla, pada tahun 2015.
Pembangunan Gentala Arasy memakan biaya sekitar Rp 88 miliar rupiah. Kawasan ini dibangun untuk destinasi wisata di Kota Jambi.
Di sini pengunjung bisa melihat Sungai Batanghari dari atas. Sore hari bisa berswafoto, dengan latar belakang matahari terbenam.
Seiring berjalan waktu, kawasan Gentala Arasy terlihat kumuh. Banyak pedagang berjualan di pinggir sungai hingga di pintu masuk jembatan.
Sampah berserakan di pinggiran sungai. Fasilitas umum, seperti toilet, kurang memadai.
Penjabat Gubernur Jambi, DR Hari Nur Cahya Murni, melihat potensi wisata Gentala Arasy. Dia pun bertindak cepat.
Nunung, sapaan akrab Hari Nur Cahya Murni, menertibkan para pedagang kaki lima yang menjamur di kawasan Gentala Arasy.
Bisa dibilang Penjabat Gubernur Jambi dari Kementerian Dalam Negeri ini satu-satunya Gubernur Jambi yang mau menertibkan PKL di kawasan Gentala Arasy.
Sabtu, 10 April 2021, di Kelurahan Arab Melayu, Pelayangan, Kota Jambi, Nunung memboyong para pejabat Dinas Pariwisata Provinsi Jambi.
Dia juga menggandeng masyarakat, travel agen, dan wartawan. Nunung ingin “menjual” potensi wisata Gentala Arasy kepada wisatawan, lokal maupun dari luar Provinsi Jambi.
Nunung menyoroti kotornya air Sungai Batanghari. Dia mengajak masyarakat dan wisatawan menjaga sungai terpanjang di Sumatera dan keempat di Indonesia ini.
“Apa boleh buat, yang kotor itu kalau kita rawat agak lumayan. Ini sebenarnya bisa kita jual. Walaupun kotor sekali, kalau kita kasih makanan, pasti patin-patin Batanghari yang kotor jadi atraksi menarik,” ujarnya.
Kotornya aliran Sungai Batanghari tak lepas dari adanya aktivitas penambangan emas ilegal atau peti di hulu Sungai Batanghari, diantaranya Kabupaten Sarolangun dan Batanghari.
Sampai saat ini, masalah PETI tak kunjung teratasi. Meski Gubernur Jambi telah silih berganti, upaya penertiban PETI belum bisa menghentikan masyarakat mencari emas, padahal jelas-jelas merusak alam.