JAMBI – Selama ini perhatian banyak orang terkait penurunan tanah lebih fokus ke Jakarta.
Padahal data penelitian Dr Heri Andreas menunjukkan ada 112 kabupaten/kota yang tiap tahun mengalami penurunan dan terancam tenggelam.
Tingkat penurunan tanah dan potensi hilangnya lahan pesisir lebih besar di Sumatera ketimbang di Jawa.
“Sejak dua tahun lalu kami mencatat ada 112 kabupaten/kota yang tanahnya terus menurun. Di sepanjang pesisir timur Sumatera itu potensi hilangnya kawasan pesisir hampir sejuta hektare pada 2050. Kalau di Pantura Jawa sekitar puluhan atau belasan ribu hektare,” kata Heri, yang saat ini menjabat Kepala Laboratorium Geodesi ITB, dalam program Blak-blakan detikcom, Rabu (4/8/2021).
Dia terlibat dalam penelitian soal penurunan tanah di pesisir Jakarta sejak masih mahasiswa ITB pada 1997.
Dengan biaya sendiri, kemudian dia mengembangkan penelitian ke daerah Pantura Jawa, pesisir timur Sumatera, serta Kalimantan Barat dan Selatan.
Di Sumatera, khususnya Riau dan Jambi, belakangan mulai dikenal sebagai ‘Pasang Keling’ untuk menyebut banjir rob. Dalam hipotesisnya, banjir di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, beberapa waktu lalu akibat penurunan tanah.
Secara umum, kata Heria Andreas, ada tujuh faktor penyebab terjadinya penurunan tanah, yakni kompaksi alamiah, beban urukan dan infrastruktur, eksploitasi air tanah, efek tektonik, eksploitasi minyak dan gas, geotermal, dan pengeringan lahan gambut.
“Kalau di Sumatera, hipotesa kami adalah karena pengeringan lahan gambut untuk perkebunan sawit,” kata Heri.
Dalam perhitungan kasar yang dilakukannya, konsekuensi dari banjir rob di seluruh pesisir Indonesia itu butuh lebih dari Rp 1.000 triliun untuk penanganannya.
Tapi biayanya akan jauh lebih murah dan permanen jika segera membenahi manajemen penggunaan air tanah dengan mendaur ulang atau menyulih air laut ketimbang membangun tanggul.
“Tapi itu butuh waktu lama karena menyangkut perubahan budaya masyarakat. Karena itu di negara lain, seperti Jepang, menyiasati ancaman rob ini prioritasnya adalah membangun tanggul. Baru kemudian memperbaiki manajemen penggunaan air tanah,” kata Heri Andreas.