KOMODITAS strategis perkebunan yang selama ini berkontribusi terhadap perekonomian nasional akan diproteksi menggunakan payung hukum berupa undang-undang (UU).
Harapannya, komoditas-komoditas yang dilindungi tersebut akan lebih berkembang dan terus berkontribusi lebih besar terhadap perekonomian nasional.
“Hingga saat ini, masih ada kekosongan hukum yang bisa memproteksi komoditi-komoditi strategis perkebunan kita,” ujar Anggota Komisi IV DPR RI, Firman Subagyo, Senin (6/9).
Padahal, lanjutnya, terdapat beberapa komoditas perkebunan yang telah terbukti berkontribusi pada perekonomian nasional.
Seperti tembakau yang berkontribusi pada penerimaan negara dari cukai sekitar Rp172 triliun.
“Itu belum termasuk dari pajak dan penyerapan tenaga kerja yang bekerja di sektor tembakau baik di perkebunan maupun di industri hingga pemasarannya,” ujar Firman.
Tidak hanya itu, kelapa sawit juga berkontribusi lebih besar daripada tembakau. Data GAPKI mencatat, pada 2020, kelapa sawit menghasilkan devisa sebesar US$22,97 miliar atau setara dengan Rp321,5 triliun.
Nilai kontribusi tersebut belum termasuk pajak dan tenaga kerja yang bekerja di sektor kelapa sawit. Data Bappenas menyebutkan, industri kelapa sawit menyerap 16,2 juta orang tenaga kerja dengan rincian 4,2 juta tenaga kerja langsung dan 12 juta tenaga kerja tidak langsung.
Menurut Firman, komoditas yang akan diproteksi dalam UU ini nantinya bukan hanya tembakau dan kelapa sawit saja, namun juga ada kopi, karet, teh hingga tebu.
“Mungkin nanti akan ada lima atau enam komoditas,” katanya.
Dikatakan Firman, yang menjadi indikator komoditas perkebunan yang akan diatur dan diproteksi oleh UU ini antara lain, komoditas tersebut berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional serta komoditas tersebut harus menyerap tenaga kerja dalam jumlah banyak.
Indikator lainnya yakni komoditas tersebut berdampak pada kehidupan sosial budaya bangsa Indonesia.
“Kenapa indikator ini kita masukkan? Karena bercocok tanam itu tidak semata-mata bermotif ekonomi belaka, namun di situ merupakan kultur masyarakat kita yang agraris ini,” paparnya.
Sejatinya, dikatakan Firman, memproteksi komoditas strategis dengan UU itu sudah dilakukan banyak negara, seperti Amerika Serikat yang sudah memiliki UU yang melindungi komoditas kedelai, jagung, kapas, dan gandum.
“Karena komoditas-komoditas itu dianggap sebagai strategis dan menghasilkan devisa bagi AS,” jelasnya.
Sementara itu negara Turki memiliki UU yang melindungi tembakau, Malaysia mempunyai UU perkelapasawitan, dan Jepang mempunyai UU perberasan. Namun ironis bagi Indonesia, komoditi-komoditi strategisnya tidak ada perlindungan hukumnya.
“Jika ini dibiarkan akan sangat berbahaya bagi kelangsungan komoditas-komoditas itu. Sangat rentan diganggu pihak asing. Lihat saja selama ini tembakau dan sawit terus-terusan jadi sasaran tembak LSM asing,” ujarnya.