Fenomena pekerja anak di Indonesia pada dasarnya sangat terkait dengan tradisi atau budaya membantu orangtua.
Sebagian besar orangtua beranggapan bahwa memberi pekerjaan kepada anak-anak merupakan upaya proses belajar menghargai kerja dan tanggung jawab.
Selain dapat melatih dan memperkenalkan anak kepada dunia kerja, mereka juga berharap dapat membantu mengurangi beban kerja keluarga.
Tahun 2021 telah ditetapkan sebagai Tahun Internasional Penghapusan Pekerja Anak secara global ditengah pandemi Covid-19.
Kampanye internasional itu juga menjadi resolusi 193 anggota negara yang bergabung di Majelis Umum PBB; United Nations General Assembly (UNGA), dengan tujuan untuk membangun kesadaran dan mengakhiri pekerja anak di seluruh dunia.
Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Ketenagakerjaan telah menyusun Peta Jalan (Roadmap) Menuju Indonesia Bebas Pekerja Anak tahun 2022.
Peta jalan tersebut disusun untuk melakukan percepatan dalam penghapusan pekerja anak secara efektif dan efisien sampai tahun 2022.Akan tetapi, keberadaan pekerja anak di Indonesia masih belum bisa dihapuskan.
Menurut hasil Survey Angakatan Kerja Nasional Indonesia tahun 2019, terdapat 6,35% pekerja anak di Indonesia, dimana di seluruh provinsi di Indonesia ditemukan anak usia 10-17 tahun yang bekerja.
Persentase tertinggi berada di Sulawesi Tenggara sebesar 13,89%, sedangkan persentase terkecil berada di Daerah khusus Ibukota Jakarta yaitu sebesar 1,59%. Bagaimana dengan Provinsi Jambi?
Karaktertisitk Pekerja Anak di Provinsi Jambi
Pada tahun 2019 dari seluruh penduduk anak usia kurang dari 18 tahun yang termasuk kategori angkatan kerja, sebesar 92,83 persen diantaranya bekerja dan sisanya 9,17 persen sedang mencari pekerjaan.
Angka ini mengalami peningkatan dibanding tahun 2018 yang hanya sebesar 89,42 persen penduduk anak usia kurang dari 18 tahun yang bekerja dan sisanya 10,58 persen sedang mencari pekerjaan.
Data ini mengindikasikan adanya peningkatan anak yang bekerja di provinsi Jambi(SAKERNAS,2019) Sebagian besar penduduk anak yang bekerja di Provinsi Jambi memiliki status sebagai pekerja keluarga/pekerja tak dibayar dengan persentase sebesar 50,51 persen tahun 2020, mengalami penurunan yang cukup besar dibandingkan tahun 2016 dengan angka 68,29%. (SUSENAS, 2016 dan 2020).
Pada masyarakat dengan kultur tradisional, anak dipandang sebagai aset atau modal yang dapat dimanfaatkan untuk membantu orang tua memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Oleh karenanya anak yang bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga dianggap sebagai suatu hal yang wajar.
Selain berstatus sebagai pekerja keluarga, ada sebanyak 35,83 persen anak yang bekerja dengan status buruh/karyawan/pegawai pada tahun 2020.
Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2016, yaitu sebesar 25,72 persen. Hal ini biasanya dilatar belakangi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga yang terbatas sehingga memaksa anggota rumah tangganya untuk turut bekerja guna menopang kebutuhan keluarga.
Selain berstatus buruh/karyawan/pegawai, ada 13,67 persen penduduk anak yang bekerja dengan status berusaha sendiri pada tahun 2020, yang juga mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2016, yang memiliki angka 5,99 persen,
Jika dilihat dari jenis kelamin, anak laki-laki lebih banyak berstatus pekerja keluarga dan pekerja bebas/lepas, sedangkan anak perempuan lebih banyak yang berstatus sebagai buruh/karyawan/pegawai, dan bekerja mandiri.
Hal ini dapat diartikan bahwa anak laki-laki secara umum lebih memilih membantu bekerja di keluarga sebagai wujud tanggungjawab untuk membantu ekonomi keluarga, sedangkan anak perempuan memiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhannya, meskipun pada akhirnya hal ini juga akan membantu ekonomi keluarganya.
Pekerja anak di provinsi Jambi bekerja pada semua lapangan usaha, baik lapangan usaha pertanian maupun non pertanian (manufaktur dan jasa), dimana pekerja anak pada lapangan usaha pada pada tahun 2016 sebanyak 50,81% dan menjadi 50,26% pada tahun 2020.
Sedangkan pada lapangan usaha non pertanian sebanyak 49,19% pada tahun 2016 dan menjadi 49,74% pada tahun 2020.
Ada sedikit pergeseran dimana ada peningkatan proporsi anak yang bekerja pada lapangan usaha non pertanian pada tahun 2020. Hal ini mengindikasikan lapangan usaha non pertanian memberikan peluang kerja lebih besar bagi pekerja anak dimasa pandemi covid 19 melanda Indonesia.
Melihat fakta ini, Indonesia pada umumnya dan provinsi Jambi khususnya mengahadapi tantangan yang semakin berat untuk mencapai pengahapusan pekerja anak tahun 2022 karena adanya pandemic covid-19 yang tidak hanya melanda Indonesia, tetapi hampir seluruh Negara di dunia.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat penduduk usia 10-17 tahun yang menjadi pekerja di Indonesia sebesar 1,17 juta jiwa pada tahun 2020, angka ini naik 320 ribu orang dibandingkan pada tahun sebelumnya (2019).
Persentasenya pun meningkat dari 2,37% pada 2019 menjadi 3,25% pada tahun 2020. Hal ini berarti bahwa untuk menghapus pekerja anak pada tahun 2022 masih belum bisa dicapai sepenuhnya.
Namun upaya untuk upaya mewujudkan penghapusan pekerja anak Indonesia harus terism dilakukan, target berikutnya dalah sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/TPB dimana Komitmen masyarakat dunia untukmenghapuskan pekerja anak dalam segala bentuk pada tahun 2025.
Penutup
Hasil Sensus Penduduk 2020 memperlihatkan bahwa penduduk Jambi merupakan penduduk yang sedang berkembang yang ditandai dengan dominasi penduduk usia produktif, dimana persentase penduduk usia 25-34 tahun adalah 23,30% dan penduduk 35-44 tahun sebesar 23,94%.
Hal ini menjadi tantangan besar bagi Pemerintah, dunia usaha dan masyarakat di provinsi Jambi untuk mampu menciptakan lapangan kerja atau usaha yang layak (decent work) bagi angkatan kerja yang besar dan cenderung terus meningkat karena perubahan struktur umur penduduk.
Tantangan tersebut mencakup dua hal sekaligus, yaitu penciptaan lapangan pekerjaan baru bagi angkatan kerja yang belum bekerja dan peningkatan produktivitas kerja bagi mereka yang sudah bekerja sehingga memperoleh imbalan kerja yang memadai untuk dapat hidup layak (decent living).
Untuk itu, semua pihak, termasuk keluarga harus memiliki komitem yang sama dalam mencegah anak memasuki dunia kerja, dan menyadari serta memberikan hakpada anak untuk membekali diri mereka dengan ilmu dan keterampilan di dunia pendidikan sampai usia dan keterampilan mereka memadai untuk masuk dunia kerja dan memperoleh pendapatan untuk penghidupan yang layak bagi dirinya dan keluarganya.
Penulis: Dr.Sri Maryati, SE.,M.Si dan Dr.Evi Adriani, SE.,M.Si