Jambi – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Jambi mengindikasikan adanya perbuatan melawan hukum berupa gratifikasi dalam perbuatan Sekda Kota Jambi, Budidaya, saat menerima uang Rp 60 juta dari BPPRD Kota Jambi.
Jaksa Penuntut Umum, Gempa Awaljon, mencecar Budidaya dengan pertanyaan terkait UU pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satunya adalah larangan gratifikasi.
Diterangkan Gempa kepada Budidaya saat menjadi saksi di sidang perkara korupsi pemotongan insentif pajak BPPRD Kota Jambi, pasal 12 b ayat 1 UU nomor 31 tahun 1999 menerangkan jika setiap gratifikasi kepada pegawai negeri dianggap suap. Dia sampai menerangkan soal pidana penjaranya seperti diatur pada pasal 12 b ayat 2.
“Pasal 12 c, ketentuan ayat 2 tidak berlaku jika melaporkan. Wajib melaporkan dalam waktu 30 hari sejak gratifikasi diterima,” kata Gempa, Kamis (28/10) lalu di Pengadilan Negeri Jambi.
“Terkait yang saya sampaikan, saudara menduga terkait pemotongan, baru dikembalikan pada 9 September 2020. Apakah itu melewati (jangka waktu pelaporan)? tanya Gempa.
“Melewati,” kata Budidaya. Sekda Budidaya menerima uang Rp 60 juta pada 2018, dan dikembalikan pada September 2020, atau hampir 2 tahun berselang sejak dia menerima uang tersebut.
Di persidangan juga diketahui jika Budidaya tidak pernah melaporkan soal penerimaan uang itu. Dan diakui oleh Budidaya.
Gempa bahkan menegaskan dan menanyakan kepada Budidaya apakah perbuatannya itu, serta pemotongan itu melanggar peraturan perundang-undangan?
Namun, pertanyaan JPU dipotong oleh Hakim Anggota Yofistian. Menurut Yofis, jika memang ada indikasi perbuatan melawan hukum yang dilakukan saksi, Yofistian menyarankan agar JPU menindaklanjuti dengan melakukan pengembangan berdasarkan keterangan dan alat bukti.
“Jangan ditanyakan kepada saksi. Saya khawatir saksi tidak bisa tidur,” kata Hakim Yofis. Sidang ini dipimpin Hakim Ketua Yandri Roni, bersama Hakim Anggota, Yofistian, dan Yasinta Manalu.
Ditemui usai persidangan, Gempa Awaljon, mengatakan, penuntut umum pada dasarnya menginginkan agar perkara ini menjadi terang. Termasuk soal siapa saja yang terlibat dan bisa dimintai pertanggungjawaban dalam perkara ini.
“Dari penasehat hukum, dan terdakwa (Subhi) sendiri mengatakan kalau tidak ingin sendiri. Ingin masuk beramai-ramai. Ini kan perlu kita analisa secara yuridis lagi,” kata Gempa.
Kemudian, kata Gempa, hakim juga telah memberi kewenangan jaksa untuk menindaklanjuti mengenai keterlibatan pihak lain. Maka ada kemungkinan dalam putusan nantinya hakik akan membuat pertimbangan adanya pihak lain yang bisa dimintau pertanggungjawaban.
“Terhadap putusan nanti baru bisa kita tindaklanjuti. Untuk sementara kami tidak bisa berasumsi dulu. Lihat nanti fakta persidangan. Fakta persidangan nanti akan tertuang dalam putusan. Nah bukan tidak mungkin (ada pihak lain),” kata Gempa menambahkan.
Dalam persidangan, Penasehat Hukum terdakwa, Subhi, Bahrul Ilmi meminta agar Wali Kota Jambi, Syarif Fasha, dihadirkan. Kata Gempa, terkait hal itu pihaknya akan mempertimbangkan lebih dulu.
“Tidak serta merta permintaan dari Penasehat Hukum kita tindaklanjuti. Hakim juga mengatakan nanti kita pertimbangkan untuk menghadirkan karena memang sepertinya PH (penasehat hukum) ingin agar perkara jelas. Bahwa Subhi bukan satu-satunya orang yang harus bertanggungjawab,” kata Gempa.
Terkait permintaan menghadirkan wali kota, Bahrul Ilmi, mengatakan, alasannya adalah SK (surat keputusan) untuk acara seremonial yang melibatkan BPPRD, yang dipimpin kliennya.
“Pak Sekda menjelaskan, setiap kegiatan seremonial yang melibatkan BPPRD itu selalu di SK kan. SK nya diterbitkan wali kota. Padahalkan sudah ada aturan, acara seremonial itu tidak ada anggarannya. Sehingga nggak boleh di-SK-kan,” kata Bahrul ditemui usai sidang.
“Kalau ada SK penyelenggaraan kegiatan tertentu yang tidak disertai anggaran, artinya SK itu mendorong Terdakwa melakukan tindakan korupsi. Makanya saya minta dihadirkan, apa maksudnya ini, menugaskan tapi uangnya tidak ada,” kata Bahrul.
“Artinya ada dugaan menyuruh si orang yang dalam SK ini untuk mencari anggarannya. Mencari anggaran PNS boleh nggak? Nggak boleh kan. Makanya saya minta wali kota dihadirkan.
Selanjutnya, mengenai keterangan Sekda Budidaya, dalam persidangan, kata Bahrul, Sekda sudah jelas mengakui menerima uang Rp 60 juta. Menurut Bahrul, Sekda tahu jika uang itu hasil potongan (insentif pegawai), dan tetap diterimanya.
“Uang itu tidak dikembalikan dan baru dikembalikan setelah kasus ini diperiksa Kejaksaan, jari jarak waktu yang diatur undang-undang sudah lewat. Dia menerima uang yang bukan hak nya dan dia tidak melaporkan.”