JAKARTA – Wakil Direktur Imparsial Gufron Mabruri menilai pemerintahan Jokowi mengabaikan dimensi hak kebebasan sipil dan politik.
Menurutnya, menilai penerapan politik kebijakan yang selektif terhadap HAM menjadi faktor yang menghambat upaya perbaikan yang fundamental dan menyeluruh kondisi HAM di Indonesia.
“Tidak terlihat adanya kemajuan yang fundamental dan menyeluruh, khususya sejumlah isu krusial yang selama ini sering mengundang catatan buruk dari publik,” ujar Gufron, Selasa (14/12).
Terlebih lagi, menurutnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat yang dijanjikan oleh Jokowi hingga kini belum dituntaskan.
Dirinya juga memaparkan 12 kasus yang telah diselidiki oleh Komnas HAM berat yang telah diserahkan kepada Kejaksaan Agung.
“Ada kasus Talangsari 1989, penghilangan paksa 1997, Trisakti 1998, Semanggi I dan II tahun 1998 dan 1999, Paniai 2004, dan lain sebagainya,” paparnya.
Oleh sebab itu, menurut Gufron, komitmen presiden untuk menuntaskan berbagai kasus yang berorientasi pada pemenuhan keadilan masih sebatas retorika normatif.
Bahkan, menurutnya pernyataan tersebut kontras dengan langkah presiden yang justru mempertontonkan praktik impunitas kepada para terduga pelaku pelanggaran HAM berat.
“Hal tersebut terlihat dari adanya sejumlah mantan petinggi militer yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban atas kasus-kasus yang terjadi, namun justru diangkat jadi menteri,” tandasnya.