ASOSIASI Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menilai kebijakan domestic market obligation (DMO) dan domestic price obligation (DPO) minyak sawit, olein, hingga minyak goreng menekan harga tanda buah segar (TBS) sawit. Ujung-ujungnya, mereka mengklaim petani sawit dirugikan.
Ketua Umum Apkasindo Gulat Manurung menuturkan kebijakan DMO dan DPO minyak sawit, olein, dan minyak goreng memaksa pemilik pabrik menekan harga pembelian TBS ke petani.
“(Kebijakan) ini kan hanya menyelamatkan konsumen minyak goreng saja, tapi di sisi lain kami sebagai petani kelapa sawit dikorbankan,” ujarnya, Sabtu (29/1).
Karenanya, Apkasindo, kata Gulat, mendesak pemerintah membuat kebijakan pembelian TBS harus lah mengacu pada harga internasional (cif Rotterdam). Tujuannya, melindungi petani sawit.
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad sepakat bahwa kebijakan DMO dan DPO untuk minyak sawit, olein, dan minyak goreng akan menekan harga TBS. Artinya, kesejahteraan petani akan tertekan.
Kekhawatirannya, petani jadi malas merawat kebun sawit jika harga TBS jatuh di bawah tingkat keekonomian. Selain itu, petani juga enggan memanen TBS, sehingga pasokan di pasaran akan berkurang.
Terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemendag) Oke Nurwan menuturkan bahwa kebijakan DMO berlaku untuk minyak goreng, olein, dan minyak sawit atau CPO. DMO untuk CPO ditetapkan sebesar Rp9.300 per kg dan olein Rp10.300 per liter.
Namun, kebijakan DPO hanya berlaku bagi CPO dan olein. “DMO untuk semua produk. Tapi, DPO untuk CPO dan olein,” terang Oke kepada CNNIndonesia.com.
Sebagai informasi, kebijakan DMO dan DPO ini mulai berlaku pada Kamis (27/1) lalu. Kebijakan ini dibuat menyusul lonjakan harga minyak goreng beberapa waktu terakhir hingga tembus Rp20 ribu per liter.