Oleh: Bahren Nurdin
Mahasiswa Western Sydney University, Australia.
Jarak Jakarta (Indonesia) dengan Sydney (Australia) itu 7 jam penerbangan tanpa transit. Jika ditambah dari Jambi tempat kelahiran saya jadi 8 jam.
Rasanya cukup jauh untuk ukuran bentangan geografis. Menempuh ribuan kilo meter, melewati beberapa kota dan melintas batas negera. Walaupun hitungannya masih negara tetangga, tatap saja jauh.
Untuk bisa studi ke luar negeri itu sesungguhnya sangat ‘menantang’ jika tidak boleh dikatakan sulit dan ‘njelimet’.
Ada begitu banyak hal yang harus dipersiapkan dan proses panjang tahapan yang harus dilewati baik akademis maupun non akademis. Secara akademis, tentu saja harus memenuhi kualifikasi akademik seperti kemampuan berbahasa asing. Syarat-syarat administratif non-akademis seperti paspor, visa, asuransi dll. Tidak mudah!
Sudah tahu tidak mudah, mengapa masih mau? Jawabnya, bukankah ada adagium, ‘high risk high revenue’? Lagi pula, bukankah menuntut ilmu itu adalah salah satu hal yang masuk dalam kategori ‘fisabilillah’ (berjuang di jalan Allah)? Dan, yang paling sering kita dengar, ‘tuntutlah ilmu walau sampai ke Negeri China’. Artinya, kalo bisa harus jauh, hehe.
Maka, agar perjalanan jauh dan perjuangan berat ini semakin bermakna, harus ada yang bertambah. Menurut saya paling tidak ada 4 hal yang harus nambah (lagi) yaitu knowledge (ilmu pengetahuan), networking (jejaring), experience (pengalaman) dan dolars (uang).
KNOWLEDGE
Ini tujuan utama yaitu menambah ilmu pengetahuan dengan mencapai gelar akademik di level doktoral. Fasilitas belajar dan kemampuan akademik para pengajar (supervisor) di sini harus diserap maksimal.
Di level doktoral, ilmu pengetahuan yang harus dimaksimalkan tentunya adalah seluk beluk penelitian dan penulisan karya ilmiah. Dua hal ini menjadi sangat urgent untuk dibawa pulang.
Para mahasiswa doktoral itu sesungguhnya disiapkan untuk menjadi ilmuan sebagai peneliti. Hasil penelitian diterbitkan di jurnal-jurnal ilmiah agar sampai kepada masyarakat baik masyarakat ilmiah (kampus) maupun masyarakat umum sehingga ia bermanfaat untuk kemaslahatan ummat.
Gelar akademik itu sesungguhnya hanyalah label akademis tapi yang jauh lebih esensial adalah bagaimana ilmu pengetahuan itu dapat bermanfaat bagi masyarakat banyak (knowledge for society).
NETWORKING
Salah satu hal yang sangat diperlukan untuk hidup di abad ini adalah networking (jejaring). Siapa yang memiliki jaringan yang luas dalam berbagai bidang kehidupan, maka ia akan mendapatkan kemudahan dalam menyelesaikan berbagai urusan. Maka, salah satu keistimewaan kuliah di luar negeri itu sesungguhnya adalah menambah jaringan.
Mahasiswa Indonesia yang sedang studi di sini berasal dari berbagai kampus dan institusi di seluruh Indonesia. Mereka memperoleh beasiswa dari barbagai program baik dalam mauapun luar negeri seperti MORA 5000Doctor, LPDP, AAS dan lain-lain.
Ditambah lagi latar belakang organisasi kemasyarakatan yang sangat heterogen. Semua ini sesungguhnya akan menjadi jejaring yang kuat untuk menambah potensi diri.
Begitu juga membangun jaringan dengan kampus-kampus luar negeri. Sebagaimana diketahui kampus-kampus yang telah berlabel ‘worldclass university’ pasti memiliki jaringan antar kampus yang luas.
Mereka terkoneksi satu sama lain dalam berbagai macam kerja sama. Jaringan mereka juga harus dieksplor maksimal sebagai mitra kerja dalam melaksanakn Tri Dharma Perguruan Tinggi setelah pulang ke negeri sendiri.
Sekali lagi, di bidang akademik, jejaring sangatlah penting untuk mendukung proses pengajaran, penelitian, seminar, penerbitan karya ilmiah dan lain sebagainya.
Kolaborasi-kolaborasi kegiatan akademik tentu sangat membutuhkan jaringan yang luas agar tercipta nuansa akademik yang mumpuni. Semoga.
EXPERIENCE
Hidup di negeri orang itu tentulah penuh dengan suka-duka yang kemudian dapat menambah pengalaman hidup sehingga semakin bersyukur kepada Allah.
Petatah-petitih orang Jambi mengatakan, ‘lamo hidup banyak diraso’. Jauh bejalan banyak tesuo’. Pahit dan manisnya pengalaman hidup di negeri orang itu tentulah menjadi sesuatu yang berharga yang terkadang tidak bisa ditukar dengan uang. Pengalaman itu adalah sesuatu yang dirasa, dilewati dan ‘dinikmati’.
Terkadang memang yang muncul kepermukaan adalah pengalaman-pengalaman yang indah dan menarik. Bisa berkunjung ke tempat-tempat yang keren dan monumental. Tapi, sesungguhnya di balik itu banyak pula hal-hal sulit yang harus dilewati.
Keringat, air mata, suka dan derita pastilah menghiasai keseharian hidup di negeri orang. Bagaimana pun pasti berat. Sekali lagi, itulah harga sebuah pengalaman.
DOLAR
Mahasiswa doktoral di Australia itu memegang visa belajar (student subclass 500) dengan beberapa ketentuan yang melekat. Salah satu aturannya diperbolehkan kerja paruh waktu (part-time) dengan dibatasi tidak lebih dari 40 jam per dua minggu.
Pembatasan ini tentu saja agar tidak mengganggu proses perkuliahan di kampus. Juga, agar mahasiswa tidak larut dalam ‘menguber’ dolar.
Dolar di sini memang salah satu hal yang ‘menggoda’. Mau hitungannya? Secara garis besar, upah rata-rata kerja part-timer itu AUD $25 / jam.
Jika dirupiahkan, Rp. 10.796 (26/3/2022) x 25 = Rp. 269.900 / jam. Jika sehari rata-rata bisa kerja paruh waktu sebanyak 5 jam, itu berarti sehari Rp. 1.349.500 / hari. Jika UMP Provinsi Jambi 2022 sebesar Rp. 2.649.034, Itu berarti setara dengan 2 hari kerja di sini. Menggiurkan!
Tapi jangan lupa, biaya hidup juga tinggi di sini. Harga barang-barang kebutuhan hidup (sembako) juga berlipat ganda. Ambil contoh harga ayam. Di sini ayam halal (ada yang tidak halal) rata-rata $7 / Kg atau setara dengan Rp. 75.572. Di Indonesia harga ayam normalnya Rp. 35.000 / Kg. Dua kali lipat! Mau dolar? Ke sini aja hehe…
Akhirnya, jauh-jauh studi ke Australia paling tidak harus nambah yang empat hal di atas. Mana yang lebih banyak bertambah, itu pilihan masing-masing.
Mau nambah ilmu, jaringan, pengalaman atau dolar, silahkan. Setiap orang berbeda dan tidak boleh disamakan. Yang penting harus ada yang betambah, Aamiin.