JAMBI – Indonesia kini menjadi salah satu negara yang menjadi kebanjiran pesanan batu bara dari sejumlah negara di Eropa, terutama sejak Eropa melarang pembelian batu bara asal Rusia.
Dikutip dari CNBC Indonesia pada Minggu (24/4), di industri batu bara menyebut, sejumlah konsumen batu bara asal Eropa telah berbondong-bondong meminta pengiriman batu bara dari Indonesia.
Bahkan, permintaan bukan hanya dari perusahaan, melainkan juga atas nama pemerintahnya.
Para pembeli batu bara asal Eropa ini bahkan tidak terlalu memusingkan harga.
“Mereka bahkan rela membeli di harga berapapun, yang penting pasokannya ada,” ungkap sumber CNBC Indonesia yang enggan disebutkan namanya.
Menurutnya, ini terjadi karena para pembeli batu bara Eropa ini lebih mengutamakan ketersediaan pasokan dan keamanan energi untuk negaranya terlebih dahulu.
“Saya belum pernah melihat fenomena seperti ini sebelumnya di industri batu bara ini. Ini panic buying!” ungkapnya.
Hal senada diungkapkan Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia. Hendra mengatakan, saat ini sejumlah negara Eropa tengah melirik batu bara Indonesia.
Beberapa negara di Eropa yang tengah melakukan penjajakan pembelian batu bara RI di antaranya yakni Italia, Jerman, dan Polandia. Namun sayang, dia tidak mengetahui secara pasti besaran kuota batu bara yang dijajaki, mengingat hal tersebut bagian dari business to business perusahaan.
Begitu juga dengan pengakuan PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Chief Financial Officer (CFO) Adaro Lie Luckman mengakui pihaknya memang mendapatkan tambahan pesanan batu bara dari Eropa, antara lain Belanda dan Spanyol.
Perusahaan pun telah mengirimkan dua sampai tiga kapal dengan kapasitas hingga 300 ribu ton ke kedua negara Eropa tersebut. Namun demikian, pihaknya masih fokus pada pasar di Asia, seperti Jepang, China, Hong Kong, dan lainnya.
“Dengan adanya konstelasi antara Rusia dan Ukraina, mulai ada permintaan dari Eropa, tapi memang pasar kita kan Asia. Jadi, kita fokus untuk memenuhi customer kita yang sudah ambil batu bara kita,” tuturnya dalam diskusi dengan media, belum lama ini.
Namun demikian, ternyata tak hanya kebanjiran pesanan dari negara-negara Eropa, batu bara RI juga diramal bakal kebanjiran pesanan dari negara lainnya di Asia
Selain kebanjiran pesanan dari Eropa, Indonesia diperkirakan juga bakal kebanjiran pesanan batu bara dari India.
Hal ini dipicu oleh rencana India untuk menambah impor sebanyak 10,5 juta ton dalam beberapa bulan ke depan.
Tambahan impor batu bara ini sebagai antisipasi terjadinya krisis listrik akibat kekurangan pasokan batu bara di India.
Adapun lonjakan impor batu bara dari India tersebut dilakukan oleh tiga negara bagian, antara lain Maharashtra yang berencana mengimpor 8 juta ton, Gujarat 1 juta ton, dan Tamil 1,5 juta ton.
Mengutip Reuters, ketiga negara bagian tersebut merupakan pengguna listrik terbesar di India, secara kumulatif menyumbang hampir sepertiga dari permintaan listrik India pada tahun 2021.
Rincian spesifik tentang rencana impor negara bagian belum pernah dilaporkan sebelumnya. Rencana impor ini baru hanya diungkapkan oleh tiga negara bagian yang akan mengimpor batu bara lebih besar setidaknya dalam enam tahun terakhir.
Langkah India, importir batu bara terbesar kedua di dunia, dapat menyebabkan kenaikan lebih lanjut atas harga batu bara global, yang sudah diperdagangkan mendekati rekor tertinggi karena kekhawatiran krisis pasokan menyusul keputusan Komisi Eropa untuk melarang impor batu bara dari Rusia.
Penambang batu bara di Afrika Selatan, Australia, dan Indonesia kemungkinan akan menjadi penerima manfaat utama dari pembelian besar-besaran India, meskipun produsen tersebut sudah terbebani oleh lonjakan permintaan baru-baru ini.
Impor batu bara dari Rusia dinilai masih memungkinkan terjadi, tetapi biayanya sudah tinggi dan pembeli cenderung meminta diskon, kata dua pedagang.
India sebelumnya telah meminta perusahaan utilitas yang dikelola pemerintah negara bagian untuk mengimpor 4% dari kebutuhan batu bara mereka untuk pencampuran, tetapi kemudian menyarankan minggu lalu bahwa impor ditingkatkan menjadi 10% dari jumlah yang dibutuhkan untuk mengatasi permintaan listrik yang melonjak.