Jambi – Mantan Anggota DPR RI tiga periode, Usman Ermulan merasa kehilangan Ahmad Syafii Maarif.
Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu meninggal dunia di RS PKU Muhammadiyah Gamping, Jumat (27/5). Tepatnya 10.15 WIB.
Menurut Usman, Buya Syafii sapaan akrabnya, merupakan sosok panutan bangsa Indonesia. Selalu mengajak umat Islam dan generasi muda agar senantiasa menjaga keutuhan persatuan bangsa.
Sebagai ulama dan cendekiawan muslim terkemuka. Tak jarang Buya Syafii selalu mencurahkan ide, gagasan, dan pemikirannya untuk kemajuan Muhammadiyah, Islam, dan Indonesia.
“Pemikiran beliau rasional, segala sesuatunya didasari dengan pengetahuan,” ujar Usman, juga mantan Bupati Tanjungjabung Barat dua periode.
Buya Syafii sangat mengayomi, bijaksana dan selalu memberikan semangat mendorong generasi muda untuk berbuat sesuatu kepada bangsa. Karena baginya, generasi muda mempunyai peran penting dalam perjalanan bangsa Indonesia.
“Makanya, diterima dan diakui oleh banyak pihak karena membimbing dan membina, saya sering minta pendapat dengan beliau kalau ada masalah menyangkut keagaaman. Semoga husnul khotimah, terima kasih atas pelajaran dan inspirasi yang selama ini diajarkan,” jelas Usman.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir dikutip dari portal Muhammadiyah mengatakan, Buya Syafii sempat menitipkan dua pesan kepadanya. Pertama, Buya Syafii mengingatkan agar selalu menjaga keutuhan bangsa, keutuhan Muhammadiyah, dan keutuhan umat Islam. Kedua, beliau meminta agar Haedar mau berdoa bersama. Keduanya pun berdoa bersama dan Saat itulah Haedar menyaksikan air mata Buya Syafii meleleh.
Keutamaan Wafat di Hari Jumat
Kepergian Buya Ahmad Syafii Maarif tentu menyisakan duka mendalam bagi keluarga beliau. Namun ada hal lain yang patut diikhlaskan mengingat beliau wafat pada Jumat, hari yang paling mulia.
Dalam Hadis dijelaskan, apabila seorang muslim wafat saat malam Jumat atau hari Jumat, maka itu menjadi salah satu sebab ia diselamatkan dari siksa kubur. Dari Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu anhu, beliau berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَـا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ يَـوْمَ الْجُمُعَةِ أَوْ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ إِلاَّ وَقَاهُ اللهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ
Artinya: “Tidaklah seorang muslim meninggal dunia pada hari Jumat atau malamnya, kecuali Allah akan menjaganya dari fitnah kubur.” (HR Imam Ahmad dan at-Tirmidzi)
Syekh Ihsan bin Dakhlan dalam Kitab Manahij al-Imdad Syarh Irsyad al-‘Ibad, juz.1, hal 286, mengutip keterangan dari Imam al-‘Azizi bahwa hadits ini mencapai derajat Hadis Hasan.
Ulama berbeda pendapat mengenai maksud terjaganya orang yang wafat di hari Jumat dari fitnah kubur. Menurut Imam al-Manawi orang itu tidak ditanya oleh Malaikat di dalam kuburnya. Sedangkan menurut Imam al-Zayadi, orang yang mati di hari Jumat tetap ditanya Malaikat, namun ia diberi kemudahan dalam menjalaninya.
Syekh Ihsan bin Dakhlan mengatakan, maksud dari hadits itu, Imam al-Manawai mengatakan dengan sekira ia tidak ditanya Malaikat di kuburnya. Pendapat al-Manawi ini menyalahi makna zahirnya Hadits.
Pendapat yang dipegang Imam al-Zayadi bahwa pertanyaan Malaikat di alam kubur menyeluruh untuk setiap orang mukallaf kecuali syahid yang gugur di medan pertempuran. Keterangan yang menyebutkan bahwa segolongan ulama tidak ditanya Malaikat di alam kubur diarahkan pada arti ketiadaan fitnah, maksudnya mereka tetap ditanya Malaikat, namun tidak mendapatkan fitnah (ujian)”. (Syekh Ihsan bin Dakhlan, Manahij al-Imdad Syarh Irsyad Al-‘Ibad, Juz.1, Hal 286)
Dikutip dari artikel berjudul Pemikiran Politik Negara dan Agama Ahmad Syafii Maarif yang terbit di Jurnal Politik Muda pada 2012, Buya Syafii memandang pola hubungan negara dan agama bukan hanya pola hubungan dikotomis yang saling meniadakan.
Islam bukan semata-mata ritual peribadatan hamba kepada Tuhannya, melainkan Islam juga mengatur kaidah-kaidah dan batas-batas dalam muamalah dan bersosial dalam masyarakat. Karena itu, harus ada negara atau kekuasaan politik yang melindungi dan menjaga aturan-aturan itu.
Wawasan kekuasaan dalam Islam haruslah disinari dengan wawasan moral. Sejarah telah menunjukkan, kekuasaan Islam dalam berbagai zaman di berbagai negara seringkali mengkhianati cita-cita politik Islam itu sendiri.
Menurut pemahaman Buya Syafii, Islam bukan hanya cita-cita moral dan nasehat-nasehat agama yang bisa lepas begitu saja. Tetapi, Islam memerlukan sarana untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang meliputi seluruh dimensi kehidupan manusia.
Al-Qur’an telah menjelaskan seluruh dimensi kehidupan manusia. Karena itu, jika ada pemikir Muslim berpendapat sekuler atau Islam dan negara harus dipisahkan, menurut Buya Syafii, pendapat itu tidak memiliki landasan teoritis yang kuat.
Dalam pandangan Buya Syafii, tidak ada pemisahan antara negara dan agama berdasarkan Al-Qur’an. Q.S Al-An’am ayat 162 menegaskan “Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup matiku, adalah untuk Allah, pemelihara alam semesta.”
Ayat ini menjelaskan, salat di masjid, jualan di pasar, atau pidato dalam parlemen tidak bisa ditempatkan dalam kategori dikotomis antara ibadah dan kerja sekuler. Salat di masjid adalah ibadah, sedangkan pidato dalam parlemen merupakan kerja sekuler yang harus berada di bawah wawasan moral dan etika Al-Qur’an.
Al-Qur’an juga banyak membicarakan tentang negara. Tetapi, Buya Syafii menolak pendapat Islam adalah negara (daulah) dan agama (din). Menurut dia, negara adalah sesuatu yang mutable (berubah) sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sedangkan agama merupakan sesuatu yang immutable (tetap) tidak lekang oleh ruang dan waktu.
Karena itu, Buya Syafii menolak gagasan tentang negara Islam. Menurut dia, gagasan negara Islam tidak memiliki basis religio-intelektual yang kukuh. Hasil karya Nabi Muhammad SAW, Piagam Madinah, tidak menyingung masalah negara Islam sama sekali. Tidak heran Buya Syafii menganggap fenomena Negara Islam merupakan fenomena abad 20.
Posisi nabi Muhammad dalam Al-Qur’an adalah seorang rasul, meskipun tidak bisa dipungkiri ia pernah menjabat sebagai pemimpin negara sekaligus pemimpin agama. Kedudukan ini termaktub dalam Q.S Ali-Imron ayat 144 “Muhammad hanyalah seorang Rasul”.
Ayat inilah yang digunakan Buya Syafii untuk menolak statement Islam adalah agama dan negara. Menurut dia, statement ini akan mengaburkan hakikat yang sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad SAW.
Selain itu, Nabi Muhammad SAW tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa dan tidak pernah mendeklarasikan sistem dan bentuk pemerintahan baku dalam Islam. Ini menunjukkan Nabi Muhammad SAW adalah pemimpin yang visioner dan paham masyarakat muslim adalah masyarakat yang dinamis dan pluralis.
Karena itu, sekalipun Buya Syafii menyerukan pentingnya negara dalam Islam, tetapi dia menolak pandangan yang mengatakan Islam adalah daulah dan din.