Oleh: Firli Bahuri
Politik Cerdas Berintegritas merupakan gagasan yang digulirkan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI untuk membangun sistem politik yang sehat, dimana sistem politik tersebut menjadi kunci bagi pembangunan peradaban bangsa Indonesia ke arah yang lebih baik.
Ikhtiar ini merupakan upaya KPK mengedor memori setiap anak bangsa terutama Partai Politik (Parpol) tentang cita – cita atas demokrasi, kekuasaan dan peran Parpol yang menjadikan antikorupsi sebagai sistem nilai.
Banyak orang atau pihak yang sinis bahkan menganggap ini adalah ide yang utopis, tapi bagi KPK tidak ada yang tidak mungkin, ini adalah ikhtiar yang harus dijalani, karena KPK sangat meyakini tidak akan ada kerja yang sia – sia.
Apa yang dilakukan KPK dengan mengetuk kesadaran Parpol bukan lah sikap yang meragukan kecerdasan strategis, kapasitas intelektual dan atau mengecilkan kemuliaan nilai visi dan misi Parpol manapun. Tapi ini adalah ikhtiar bersama membangun peta jalan baru, yaitu menjadikan antikorupsi sebagai budaya.
Ada alasan utama kenapa KPK menyasar Parpol sebagai pilihan strategis dalam membangun politik cerdas yang berintegritas.
Alasan pertama, sepanjang sejarah KPK berdiri, KPK telah menetapkan sangat banyak tersangka pejabat publik dan politik dari kalangan Parpol.
Berdasarkan data statistik, dari kasus korupsi yang ditangani sejak 2004 – Januari 2022, total tersangka yang ditangani sebanyak 1.389 orang, diantaranya DPR dan DPRD 310 orang, Wali Kota/Wakil Wali Kota dan Bupati/Wakil Bupati 148 orang, Gubernur 22 orang, atau sebanyak 480 orang dari 1.389 total tersangka atau sebesar 34,5 persen.
Angka ini belum termasuk tersangka dari kader parpol di lembaga negara dan kementrian.
Alasan kedua, KPK meyakini untuk berdemokrasi secara sehat, maka dibutuhkan Parpol yang bersedia melakukan manifesto antikorupsi untuk seluruh kadernya.
Oleh karenanya, KPK mendorong adanya sistem politik yang tidak ramah terhadap korupsi. Dengan sistem politik yang menutup celah dan peluang terjadinya korupsi maka Parpol akan terjaga integritasnya.
Hal ini sangat penting karena Parpol memiliki peran yang sangat vital dan strategis, dimana Parpol menguasai suara rakyat, melahirkan wakil rakyat, menghasilkan para pemimpin mulai dari Kades, Kepala Daerah, DPRD Kabupaten/Provinsi, DPR/DPD RI, Pimpinan Lembaga/Kementrian, hingga Kepemipinan Nasional, serta Parpol merupakan mesin yang menyusun seluruh regulasi, produk hukum dan politik di negeri ini.
Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain selain mengajak Parpol untuk membangun dan menata sistem politik, dan atas prasangka baik pula KPK berkeyakinan Parpol bersedia bersama KPK membangun jalan baru menuju peradaban yang memiliki karakter baru, yaitu politik cerdas berintegritas yang antikorupsi.
Selain hal diatas, berdasarkan berbagai kajian dan analisa sistem kenegaraan dan sistem pemerintahan (baca: tata kelola pemerintah), KPK berkesimpulan bahwa korupsi terjadi salah satunya disebabkan oleh sistem yang lemah, buruk bahkan gagal.
Hal ini hanya dapat dicegah atas ikhtiar segenap elemen bangsa dalam menjalankan berbagai rekomendasi yang telah disampaikan oleh KPK berupa upaya memperkuat sistem dalam kerangka pencegahan korupsi.
Secara paralel, KPK juga secara masif mendorong pendidikan antikorupsi terutama dikalangan pelajar terutama siswa SMA dan SMK, dengan mendorong lahirnya kurikulum antikorupsi sebagai mata ajar wajib. Pendidikan antikorupsi ini merupakan hal yang fundamental dalam membangun karakter, budaya serta peradaban antikorupsi.
Mahalnya biaya politik yang harus dikeluarkan dalam pemilu presiden, pemilu legislatif, dan pilkada, telah menjadi bumerang bagi keberlangsungan sistem demokrasi dan keberadaan partai politik di Indonesia.
Biaya mahal dalam politik akan melahirkan praktik korupsi yang dilakukan para politisi atau pejabat yang terpilih. Karena keterpilihan mereka tidak ditentukan kualitas dan kapabilitasnya, tapi ‘isi tas’ atau besaran dana politik yang bersumber dari kantong pribadi atau dari penyandang dana.
Tidak mengherankan ketika para politisi atau pejabat terpilih dalam jabatan tertentu, maka yang terpikir pertama kali adalah bagaimana mengembalikan biaya politik yang telah dikeluarkan agar “balik modal”.
Untuk menghindari hal tersebut, maka diperlukan sebuah sistem yang tidak ramah terhadap korupsi. Hal ini hanya mungkin dilakukan jika biaya politik tidak lagi mahal.
Karena itu Pemerintah harus memiliki “Political Will” dengan melahirkan regulasi bahkan peraturan perundang – undangan yang menyediakan alokasi anggaran untuk Pilkada, Pileg dan Pilpres agar biaya politik menjadi murah.
Beberapa solusi sebagai contoh agar biaya politik tidak mahal yaitu negara memfasilitasi biaya saksi, biaya kampanye serta alat peraga, serta dana operasional bagi Parpol.
Hal ini dimaksudkan agar pemimpin dan pejabat negara yang terpilih merupakan figur yang berkualitas. Karena dengan tersedianya biaya politik dari negara, maka tidak ada lagi pilkada, pileg dan pilpres yang membutuhkan ongkos politik yang mahal, sehingga pemimpin yang terpilih tidak tersandera kepentingan pihak lain.
Hal yang tak kalah pentingnya yaitu bagaimana sistem demokrasi dan sistem politik didesain untuk mencegah praktik demokrasi transaksional, karena ini merupakan pemicu awal perilaku korupsi dikalangan politisi dan pejabat negara.
Sejatinya prinsip transparansi dan keterbukaan di era demokrasi harus menjadi pilar utama, karena hal demikian akan berdampak pada kualitas pejabat publik.
Sudah saatnya calon pejabat publik merupakan sosok yang memiliki kapasitas yang memadai karena ia dipilih dari proses demokrasi yang secara prosedural dan substansi berkualitas.
Padahal praktik demokrasi terbuka di Indonesia sudah berjalan selama 23 tahun. Bila diibaratkan sebuah rumah, Indonesia hari ini sejatinya sudah bersih, terang dan penuh cahaya, serta tidak ada lagi ruang kumuh yang tertutup sebagai tempat yang nyaman bagi tikus dan kecoa.
Tapi pada kenyataannya korupsi masih terjadi secara masif bahkan cendrung meningkat baik jumlah maupun derajat daya rusak yang diakibatkannya. Hal ini terjadi oleh tiga penyebab utama. Pertama, masih ada masalah dalam regulasi.
Kedua, ada masalah dalam pelembagaan demokrasi. Ketiga, budaya antikorupsi belum tumbuh subur dan mapan di tengah masyarakat kita. Gagasan ini bukanlah didasari atas pretensi politik, apalagi pretensi politik praktis. Ini bukan pula berupaya memasuki ranah kamar politik atau kamar kekuasaan yudikatif.
Gagasan ini semata – mata lahir dari perenungan dan pergulatan batin yang panjang atas keprihatinan dengan kondisi aktual di daerah. Banyak laporan dan keluhan yang menyoal mahalnya biaya pemilihan umum yang kemudian mendorong lahirnya perilaku koruptif.
KPK kerap menyerap informasi dan keluhan langsung dari rumpun legislatif dan eksekutif di daerah yang mengeluhkan biaya Pilkada yang sangat mahal sehingga membutuhkan modal besar.
Modal besar untuk pilkada sangat berpotensi membuat seseorang melakukan tindak pidana korupsi, karena setelah menang hal yang pertama menjadi misi seorang kepala daerah adalah balik modal. Di sisi lain mencari bantuan modal dari “bohir politik” akan mengikat politisi di eksekutif dan legislatif dalam budaya balas budi yang korup.
Data di KPK menunjukkan 82,3 persen calon Kepala Daerah mengaku memiliki donatur. Mayoritas dari mereka kemudian berupaya melakukan korupsi sebagai bentuk balas budi.
Dimana 95,4 persen balas budi pada donatur dalam bentuk kemudahan memperoleh perizinan terhadap bisnis yang telah dan akan dilakukan atau 90,7 persen meminta kemudahan untuk ikut serta dalam tender proyek pemerintahan (pengadaan barang dan jasa).
Lebih menariknya, kesadaran dan informasi ini diperoleh KPK dari para Gubernur, Bupati dan Walikota serta anggota legislatif. Mereka menyadari, dorongan korupsi akan sangat tinggi jika biaya politik sangat mahal.
Prinsip balik modal dan balas budi pada donatur membuat kepala daerah dan anggota legislatif akan menciptakan birokrasi yang korup, karena mereka mencari pengganti sebagai wujud balas jasa dari kas negara.
Guna mewujudkan semua hal itu, maka titik krusial untuk melahirkan satu tatanan Pemerintahan yang ideal yaitu terbangunnya Good Governace and Clean Goverment, dimana akselerasi mewujudkannya akan sangat ditentukan ikhtiar dan peran strategis Parpol dan legislatif.
Krusial karena legislatif merupakan representasi dari kepentingan Parpol (baca: elit parpol), yang merupakan tempat disusunnya semua regulasi, produk hukum dan politik hukum.
Dengan demikian, kualitas produk regulasi, hukum dan politik hukum sangat ditentukan bagaimana Parpol melakukan rekruitmen dan menyiapkan calon legislatif, serta seperti apa kepentingan Parpol atas setiap produk regulasi, hukum dan politik hukum yang dilahirkan melalui lembaga legislatif, baik dalam menjalankan fungsi legislasi dan anggaran, termasuk fungsi pengawasan.
Oleh karena itu, reformasi Parpol menjadi sangat penting. Hal ini akan menjadi variabel utama untuk menahan bangunan demokrasi yang hampir roboh. Meskipun perubahan ini hanya bisa dilakukan melalui revisi Undang – undang.
Pilihannya hanya dua, apakah ingin menjadi pelaku sejarah atau hanya sekedar menjadi penonton. Masa depan bangsa Indonesia sepenuhnya ada di tangan Parpol, karena apa yang kita lakukan saat ini akan menjadi penentu masa depan bangsa ini ( The Future Depends on What We Do at Present).
Oleh sebab itu, demokrasi, kekuasaan dan Partai Politik, diharapkan terus melakukan perubahan dan perbaikan bertahap sebagaimana proses evolusi yang secara paralel dan simultan berdampingan dengan cita – cita terwujudnya karakter politik baru, yaitu politik cerdas berintegritas yang antikorupsi dan bebas dari belitan kekuatan jahat oligarki.
Kita tidak boleh menyerah apalagi kalah oleh realitas. Perubahan sangat diperlukan, saat ini juga. Sehingga budaya antikorupsi akan menjadi sistem nilai yang menjadi pilihan hidup baru atau jalan politik baru.
Sehingga cita – cita Indonesia yang cerdas, sejahtera, aman adil dan makmur serta demokratis menjadi kenyataan.