Oleh : Jamhuri
Panggung pagelaran Batubara terhitung sejak tahun anggaran 2012 tidak pernah selesai dan terkesan tidak akan pernah berakhir buat selama – lamanya, dimana tercatat sudah 3 orang Gubernur yang dimulai dengan era Hasan Basri Agus dengan 3 Produk Hukum mengenai angkutan Batubara dan Tiga kali Pergantian Kepala Daerah namun tidak diikuti dengan Perubahan Suasana Panggung Batubara dimaksud.
Yaitu era kepemimpinan Zumi Zola Zulkifli Nurdin dan era Fakhrori Umar serta era rezim Jambi Mantap yang dikomandoi oleh Al Haris juga tidak mampu memberikan perlindungan bagi Masyarakat sebagai dampak daripada persoalan angkutan Batubara.
Persoalan angkutan Batubara terkesan sengaja dibiarkan untuk menjadi ajang bagi perebutan kepentingan dan kekuasaan dengan sengaja membiarkan dan/atau seakan – akan Pemerintah Provinsi Jambi sebagai pemegang hak yang diberikan oleh konstitusi untuk berbuat dan bertindak untuk dan atas nama serta demi kepentingan negara.
Gubernur rezim Jambi Mantap tidak memiliki kemampuan sama sekali dalam mengatur dan mengikat serta memaksa hubungan sosial antara Alam dengan Manusia dan hubungan antar sesama Manusia, dan/atau telah gagal total.
Hingga dalam beberapa minggu terakhir tidak kunjung berakhir dan terkesan tidak akan pernah berakhir selama – lamanya menjadi Tranding Topict baik dengan fure pembahasasan yang tetap sama yaitu tentang Jalan Khusus Angkutan Batubara yang tak kunjung menemukan formula khusus sebagaimana yang diharapkan oleh segenap lapiasan Masyarakat tanpa terkecuali, tak jarang pembahssan tentang Minimmya Pendapatan Asli Daerah dari hasil eksplorasi pertambangan yanag dimaksud.
Persoalan bagi hasil yang dibicarakan seakan – akan lupa dengan Konsep Dana Bagi Hasil dan Konsep Pasal 33 ayat (3) Undang – Undang Dasar 1945 dan Sila ke Tiga Persatuan Indonesia yang menjadi sumber hukum bagi penetapan peraturan perundang – undangan mengenai Dana Bagi Hasil dari hasil pertambangan yang diberikan kepada Daerah Penghasil dan Daerah Bukan Penghasil yang secara systematis telah diatur sedemikian rupa dengan ketentuan peraturan perundang – undangan yang berlaku, dan dengan besaran akumulasi yang ditetapkan dengan Peraturan tertentu pula, sebagai Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari pengelolaan dan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) dan agar SDA itu sendiri tidak menjadi Setoran Buat Atasan.
Masalah sebenarnya tidak terletak pada besaran akumulasi Dana Bagi Hasil, perbincangan mengenai DBH hanyalah merupakan pengaliahn issue belaka dan tidak menyentuh pada substansi sebenarnya, akan tetapi persoalan sebernarnya terletak pada persoalan hak – hak masyarakat untuk mempergunakan dan menikmati jalan sebagai pasilitas umum yang tidak dapat terpenuhi sebagaimana mestinya.
Dimana Pemerintah Provinsi Jambi dengan Dinas Perhubungan sebagai Leading Sectornya terkesan menampilkan Anekdot murahan yang tidak bermutu dengan memberlakukan Dua Nomor Surat Edaran (SE) mengenai angkutan Batubara, disatu sisi Pemerintah Provinsi Jambi seakan – akan mendengarkan suara rakyat dan di sisi lain secara resmi Gubernur Jambi telah dengan sengaja merubah tatanan hierarki hukum yang berlaku.
Bukannya menerapkan sifat – sifat hukum sebagaimana mestinya dimana sifat mengatur yaitu hukum memiliki aturan yang wajib ditaati oleh semua golongan masyarakat agar terciptanya ketertiban dan keamanan, terlepas siapapun dan apapun status sosialnya dengan konsep bahwa Hukum adalah sebagai alat sosial kontrol (As Tool and Engeneering Social Control) yang mengatur persamaan Hak di hadapan hukum (Aquality before The Law) dengan tanpa pengecualian baik penguasa kekuasaan dan penguasa kekayaan maupun rakyat jelata, dengan sifat memaksa berarti akan dilakukan suatu tindakan hukum bagi siapa saja yang melakukan perbuatan malawan hukum dengan menerapkan sanksi bagi pelaku, sebagaimana pada ketentuan yang ditetapkan.
Malahan Pemerintah Provinsi Jambi terkesan tidak peduli akan persoalan yang ada di tengah – tengah masyarakat, ataukah memang tidak mengerti dan memahami ketentuan yang berlaku.
Dengan kondisi sebagaimana diatas kiranya Pemerintah Provinsi Jambi wajib untuk kembali membaca dan memperhatikan serta memahami jika perlu lakukan diskusi ataupun kembali belajar dengan pakar hukum, dan/atau akademisi maupun pada dosen pada beberapa Perguruan Tinggi yang ada, baik itu tentang Hukum Administrasi Negara maupun tentang Hukum Tata Negara serta tentang Kebikakan Publik.
Agar benar – benar dapat memahami serta mengerti akan norma hukum dalam mengambil suatu kebijakan publik agar adanya kesesuaian antara pikiran dengan obyek (Adaequatio Intellectus Et Rei), dimana prinsip kesesuaian ini pada dasarnya adalah amerupakan rambu-rambu dalam merumuskan materi hukum yang telah diterima secara universal.
Serta dapat memahami dan mengerti untuk dilaksanakan prisip – prinsip penegakan hukum (Law enforcement) dengan salah satu semboyannya “sekalipun esok langit akan runtuh, meski dunia akan musnah, atau walaupun harus mengorbankan kebaikan,keadilan harus tetap ditegakkan” (Fiat Justitia Ruat Coelum atau Fiat Justitia Pereat Mundus)
Pada beberapa hari yang lalu rezim Jambi Mantap kembali menampilkan anekdot yang tidak layak dimama meminta anggaran sebesar Rp.50.000.000.000,00 (Lima Puluh Miliar Rupiah) dengan peruntukan guna membangun jalan khusus bagi angkutan Batubara.
Benar – benar suatu pemikiran yang jauh dari azaz dan norma serta kaidah hukum, salah satu di antaranya kaidah tentang Azaz Umum Pemerintah yang Baik (AUPB) dan/atau setidak – tidaknya menunjukan suatu gambaran tidak adanya kesesuaian antara pikiran dengan obyek yang dipikirkan.
Jangankan mematuhi dan melaksanakan amanat Peraturan Daerah Nomor 13 tahun 2012 tentang Pengaturan Pengangkutan Batubara Dalam Provinsi Jambi dan Peraturan Gubernur Nomor 18 Tahun 2013 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pengangkuatn Batubara, yang diatur dengan ketentuan sebagaimana Pasal 1 angka (15) dengan amanat :
“Jalan Khusus adalah jalan yang khusus dibangun oleh investor di bidang pertambangan batubara yang diperuntukkan khusus untuk angkutan batubara dari lokasi penambangan ke suatu pelabuhan dan/atau stasiun Kereta Api”.
Justru malah Pemerintah Provinsi Jambi lupa jika baik Peraturan Daerah maupun Peraturan Kepala Daerah dibuat untuk dipatuhi dengan telah memenuhi unsur – unsur Yuridis, Sosiologis dan Phylosofis.
Secara spesifik ketentuan mengenai jalan khusus angkutan Batubara diatur dengan Peraturan Daerah Nomor 1 tahun 2015 tentang tentang Penyelenggaraan Jalan Khusus, dengan salah satu ketentuannya diatur dengan Pasal 6 ayat (1) dengan amanat :”Setiap badan usaha yang akan membangun jalan khusus lintas Kabupaten/Kota wajib memiliki IJK.”,
Yang berarti bahwa kewajiban membangun jalan khusus berada pada tangan investor bukan pada Pemerintah Provinsi Jambi, jika terjadi pembangunan jalan dimaksud dilakukan oleh Pemerintah yang tentunya akan menjadi Anggaran Penambah Beban Daerah (APBD).
Sementara untuk kewajiban Pemerintah Provinsi Jambi hanya sebatas membuat Perencanaan, sebagaimana diatur dengan ketentuan Pasal 9 ayat (1) Perda dimaksud dengan amanat:
” Perencanaan umum jalan khusus lintas Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b, dilakukan oleh Provinsi.”
Pemikiran menyangkut usulan permintaan anggaran untuk jalan khusus dimaksud adalah merupakan suatu pemikiran yang menggambarkan suatu keadaan tidak adanya kesesuian antara obyek dengan pemikiran dan/atau menunjukan seakan – akan pihak Pemerintah Provinsi Jambi dengan para pihak yang berkompeten.
Baik itu Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), dan Dinas Perhubungan, maupun Dinas Pekerjaan Umum dan Permukiman Rakyat (PUPR) terkesan menunjukan sikap keberpihakan ataupun takluk kepada kepentingan Kafitalis dimana baik secara sendiri – sendiri maupun secara bersama – sama dengan pihak investor seakan – akan memiliki hak imunitas hingga menjadikan mereka seakan – akan kebal hukum, dan/atau seakan – akan Pemerintah Provinsi Jambi memberikan kesempatan bagi seseorang dan/atau orang lain dan/atau sesuatu korporasi untuk melakukan perbutan melawan hukum dan/atau telah dengan sengaja melakukan suatu perbuatan dan/atau tindakan pembiaran.
Sejak Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah yang dimaksud disyahkan dan diundangkan tidak satupun catatan sejarah yang mencatat terjadinya pemberian sanksi hukum terhadap pelaku pelanggaran terhadap ketentuan hukum sebagaimana pada ketentuan peraturan yang dimaksud, yang seakan – akan tidak pernah ada kejadian.
Berita tentang sekian banyak korban jiwa dari kecelakaan lalu lintas yang terjadi antara masyarakat umum dengan armada angkutan Batubara tidak mampu membuat Pemerintah Provinsi Jambi untuk membuka mata dan telinga agar dapat mengatasi masalah yang terjadi dan/atau tidak terjadi perubahan apapun terhadap kondisi permasalahan angkutan Batubara yang dimaksud.
Pemerintah Provinsi Jambi terkesan seakan – akan baru terjaga dari tidur lelapnya dengan sikap yang seolah – olah mendengarakan aspirasi masyarakat dimana dengan adanya sejumlah aksi unjuk rasa oleh berbagai elemen masyarakat, mengenai masalah angkutan Batubara baru tersadar dengan igauannya dari sebuah mimpi indah dengan memberlakukan Surat Edaran mengenai angkutan Batubara, hingga nanti akan selalu ada alasan jika pemberlakuan Surat Edaran dimaksud dipersoalkan.
Jika Pemerintah Provinsi Jambi memiliki kesesuaian antara pemikiran dengan obyek yang dipikirkan terhadao beban yang diusulkan dapat dilakukan dan termasuk pada kategori halal dengan cara terlebih dahulu mencabut baik sebagian maupun secara keseluruhan Peraturan Daerah dan Peratauran Kepala Daerah yang dimaksud dan dengan memberdayakan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai pengelolanya, sebagai pelaksana dan pengelolaan jalan khusus angkutan Batubara, Crude Palm Oil (CPO), dan angkutan – angkutan industry lainnya, semacam dan/atau dengan system jalan Tol (Pintu Tol dengan System Komputerisasi dan serta pemberlakuan Uang Elektronik (E – Money) bank Sembilan sebagai Lembaga Keuangan Daerah yang tentunya akan memberikan Multiplier Effect dan/atau memberikan Kontribusi berupa Pendapatan Asli Daerah di luar dan/atau selain daripada Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Dengan mempergunakan perhitungan Aritmatika jika pada setiap hari terdapat sebanyak 10.000 (Sepuluh Ribu) unit angkutan armada Batubara dan CPO serta angkutan indusri lainnya sebanyak itu juga di kalikan dengan kewajiban sewa jalan sebesar Rp.50.000,00 (Lima Puluh Rupiah) yang akan menghasilkan Pendapatan (Income) bagi Badan Usaha Mlik Daerah (BUMD) sebesar Rp. 1.000.000.000,00 (Satu Miliar Rupiah), atau pendapatan dalam jangka waktu 2 (Dua) hari saja setara dengan nilai kebutuhan Program Dumisake yang masih salah dalam pemberian nomor rekening dan masih tanpa Juklak dan Juknis.
Tinggal bagaimana antara Gubernur dengan DPRD Provinsi Jambi sebagai wakil rakyat dapat membuat Produk sebagai Payung Hukum dan dilaksanakan sebagaimana mestinya, agar ada kesesuaian antara pemikiran dengan yang dipikirkan dan tidak lagi ada pandangan bahwa Tiga Orang Gubernur dan Tiga Peraturan (Perda/Pergub) tanpa roh tanpa jiwa dan hanya sebatas hiasan pertanda keberadaan sebuah Pemerintahan, Agar Kebijakan Publik Gubernur Jambi benar – benar dapat menyelesaikan masalah yang terjadi dan merubah tatanan sosial kehidupan masyarakat.
Penulis merupakan Penggiat Antikorupsi.