Oleh: Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah/Anggota Dewan Pakar JMSI.
DI MEDAN, Sumatera Utara, ada satu
nama jalan penting bernama Jalan Mohammad Husni Thamrin.
Kenapa tokoh yang dikenal sebagai pembela kaum Betawi kelahiran Kampung Sawah Besar, Jakarta, ini diabadikan jadi nama jalan di Tanah Sumatera ?
Sejarawan Belanda, Bob Hering, yang menulis biografi “Mohammad Hoesni Thamrin, Tokoh Betawi, Nasionalis Revolusioner Perintis Kemerdekaan”, menyebut nama jalan itu diberikan oleh Sultan Deli setelah era kemerdekaan, untuk mengenang jasa-jasa Thamrin yang membela nasib para kuli kontrak di perkebunan tembakau Deli.
Para kuli ini tertindas akibat Poenale Sanctie karena pemberlakuan Undang-undang Koeli Ordonantie pada 1881.
Peraturan berupa sanksi dan tindak kekejaman tak manusiawi ini akhirnya dihapus oleh pemerintah kolonial Belanda setelah dikecam oleh dunia internasional, termasuk Amerika Serikat.
Di dalam negeri Thamrin yang paling lantang dan berani melawannya saat menjadi anggota Volksraad tahun 1920-an dan secara langsung melakukan kunjungan ke Deli.
Thamrin bukan seorang pejuang Jakartasentris yang membela kepentingan kaum Betawi belaka. Ia nasionalis berciri beschermer (pelindung) yang secara aktif mengayomi rakyat.
Status sosial, intelektualitas, dan kemampuan finansialnya yang tinggi memungkinkannya tampil di posisi itu.
Kakek Thamrin, George Anton Ort, adalah pengusaha sukses berkebangsaan Inggris, yang antara lain memiliki sejumlah properti dan hotel bintang lima di Betawi pada masanya.
Bersama dua kawannya yang juga berkebangsaan Inggris, Schnell dan Palmer, Ort mengembangkan pula usaha berupa toko permata dan bisnis tembakau.
Sebagai beschermer Thamrin adalah mentor Sukarno. Meski sebagai pejuang beraliran kooperatif yang duduk di Volksraad, namun ia secara penuh memberikan dukungan kepada para pejuang beraliran non kooperatif.
Thamrin lah misalnya yang cukup banyak membantu kebutuhan finansial Sukarno selama berada di penjara dan pengasingan.
Sikap kolaboratif Thamrin ini ternyata membuat jengkel Gubernur Jenderal De Jonge kala itu, sehingga berkata: orang paling berbahaya di Hindia Belanda bukan Sukarno melainkan Thamrin.
Bagaimana pembelaannya terhadap warga Jakarta ?
Jika Sukarno digambarkan sebagai “politikus garis-besar”, karena tak masuk ke dalam urusan-urusan mikro yang dianggapnya njelimet, Thamrin justru menukik sampai ke urusan mikro.
Di Volksraad misalnya ia menyuarakan masalah-masalah kecil kota Jakarta, mulai dari soal perkampungan becek tanpa penerangan, masalah banjir, menggugat pembangunan daerah elit Menteng yang terlalu diprioritaskan, soal pajak, sewa tanah bagi petani kecil, hingga harga beras, kedelai, gula, karet, dan sebagainya.
Thamrin adalah anak Betawi yang memulai karir dari bawah sebagai anggota Dewan Gemeente (setingkat walikota), yang bukan saja menaruh hati, pikiran, dan tindakannya untuk rakyat kecil, dan mendalami persoalan-persoalan dasar tentang Jakarta, ia juga pemimpin Parindra, tokoh nasional dan kolega politik yang mengayomi sekaligus disegani oleh para pembesar Belanda.
Untuk jasa-jasanya ini Gubernur Jakarta Ali Sadikin sejak tahun 1970-an bersama PWI Jakarta setiap tahun menyelenggarakan forum penghormatan baginya berupa Anugerah Jurnalistik M.H Thamrin.
Ali Sadikin juga menamakan program perbaikan perkampungan kumuh Jakarta dengan nama MHT yang merupakan singkatan dari nama Thamrin.
Program ini cukup terkenal hingga awal 1980-an dan mendapatkan banyak atensi dari berbagai kalangan, termasuk tentu dari kalangan pers.
Kunjungan Ketua Umum JMSI (Jaringan Media Siber Indonesia) Teguh Santosa yang ikut berkhidmat dalam event ke 48 tahun Anugerah Jurnalistik M.H Thamrin, di Balai Kota Jakarta, Kamis 15 September lalu, bermakna penting.
Sebagai tokoh muda yang akan mencalonkan diri untuk menjadi Anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI dari DKI Jakarta, Teguh Santosa bukan saja telah menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada jasa-jasa Mohammad Husni Thamrin sebagai seorang pahlawan nasional.
Teguh Santosa hadir di forum penganugerahan jurnalistik itu juga untuk menangkap semangat perjuangan, kecintaan, dan idealisme Thamrin terhadap warga Jakarta dan bangsa.
Thamrin sendiri dalam sebuah pidatonya di Volksraad pernah berpesan kepada generasi muda dengan mengutip penyair Belanda, Henriete Roland-Holst :
“Pembangun candi bukanlah generasi kami, Kami cuma tukang angkut batu
Kami generasi yang harus punah
Agar dari kuburan kami bangkit penerus yang lebih tangguh …”
Jiwa dan semangat Thamrin tentu tak boleh terhenti oleh sekedar seremonial penganugerahan jurnalistik belaka.