Jambi – 24 September merupakan hari yang bersejarah bagi kaum tani Indonesia. Pada tahun 1960 dengan lahirnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) menjadikan tonggak berdirinya hari tani nasional sebagai awal dari gerakan perjuangan kaum tani Indonesia.
UUPA 1960 dijadikan dasar hukum penataan kekayaan Agraria Nasional dan UUPA merupakan perwujudkan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasa 33 Ayat (3) yang berbunyi, “Bumi dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.
Semangat UUPA tersebut mengedepankan tanah untuk rakyat kini hanya tinggal sejarah yang diingat oleh kaum tani Indonesia. Keadaan ini harus dirasakan oleh kaum tani karena cengkeraman oligarki yang sangat kuat dengan instrument kebijakan yang tidak berpihak kepada kaum tani Indonesia.
UU Cipta Kerja menjadi tembok yang sangat tinggi bagi kesejahteraan petani dan hanya berpihak kepada korporasi.
Situasi saat ini, 53,4 Juta hektar penguasaan tanah Indonesia didominasi oleh usaha-usaha di sektor logging, kebun kayu, sawit dan tambang. Dari keseluruhan penguasaan tersebut izin dipegang oleh perusahaan swasta dan BUMN.
Untuk Provinsi Jambi, 1.223.737 Hektar lahan dikuasai oleh korporasi swasta dan BUMN yang terdiri dari sektor kehutanan, perkebunan sawit, dan tambang.
Hal ini menjadi ketimpangan dalam penguasaan tanah di Provinsi Jambi mengingat hanya 215.969.92 Ha yang dikeluarkan oleh pemerintah melalui skema Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan kepada rakyat Jambi.
Tidak hanya ketimpangan, keadaan
ini juga memaksa masyarakat yang tanahnya ditimpa izin konsesi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus menghadapi konflik tiada henti dengan korporasi dan mafia-mafia tanah.
Hingga saat ini berdasarkan data WALHI Jambi, Provinsi Jambi adalah Provinsi dengan konflik agraria tertinggi ke 2 se-Indonesia dengan jumlah peristiwa konflik agraria masih diangka 156 konflik yang belum terselesaikan. Keterlibatan aktor utamanya adalah, Perusahaan ekstraktif (sawit, tambang dan HTI), Pemerintah dan masyarakat korban.
Dengan rincian tambang mencapai 95 konflik. HTI/hutan sebanyak 57 konflik dan monokultur 28 konflik. Para kaum tani harus dipaksa dengan tindakan-tindakan intimidatif, kekerasan hingga pembunuhan dalam memperjuangkan wilayah kelolanya.
WALHI Jambi sendiri memprioritaskan 17 Desa dampingan yang sedang berkonflik di sektor kehutanan dan perkebunan dengan tipe konflik yang beragam.
Adapun 17 desa dampingan yang berkonflik dan menjadi prioritas WALHI Jambi untuk percepatan penyelesaian konfliknya di sektor hutan antara lain: Desa Pemayungan, Desa Lubuk Mandarsah, Desa Muara Kilis, Desa Sungai Paur, Desa Sungai Rambai, KT. Panglimo Berambai, Desa Olak Kemang dan Desa Gambut Jaya.
Sementara itu untuk desa yang berkonflik di sektor perkebunan antara lain: Desa Rondang, Desa Simpang Rantau Gedang, Desa Sungai Bungur, Desa Batu Ampar, Desa Seponjen, Desa Pandan Sejahtera, dan Kelurahan Tanjung.
Ditambah Desa Mekar Sari dan Tebing Tinggi harus menghadapi konflik sektor perkebunan yang tanah mereka
diambil oleh mafia tanah.
Atas kondisi ini, 1000 petani dari 16 Desa dampingan WALHI Jambi yang berada di 6 Kabupaten Provinsi Jambi akan menyambut hari tani nasional 2022 pada tanggal 24 dan 26 September dengan serangkaian kegiatan konferensi pers untuk menyuarakan bahwa perjuangan kaum tani dalam mendapatkan wilayah kelola mereka belum terhenti dan belum terselesaikan.
“Kemudian puncaknya, kaum tani akan melakukan aksi longmarch dan rapat umum bersama pemangku kebijakan di Provinsi Jambi untuk menyampaikan permasalahan dan menuntut kembalinya hak atas tanah kaum tani,” ujar Abdullah selaku Direktur Eksekutif WALHI Jambi.
Dengan aksi hari tani nasional 2022 ini, seluruh petani yang tergabung dalam dampingan WALHI Jambi meminta sikap tegas dan kebijakan dari pemerintah.
Sebuah komitmen untuk menyelesaikan permasalahan agraria di Provinsi Jambi dan mengembalikan wilayah kelola rakyat Jambi. *