Oleh: Dr. Noviardi Ferzi
PROVINSI Jambi sudah mengalami Stagflasi, suatu kondisi ekonomi yang ditunjukkan dengan pertumbuhan ekonomi yang melemah dan angka pengangguran yang tinggi.
Kondisi ini biasanya diikuti dengan kenaikan harga-harga atau inflasi. Stagflasi juga bisa didefinisikan sebagai kondisi pada sebuah periode inflasi yang dikombinasikan dengan penurunan Produk Domestik Bruto (PDB).
Stagflasi adalah kondisi di mana pertumbuhan ekonomi mengalami perlambatan. Sementara inflasi terdorong naik imbas dari harga pangan dan energi yang cenderung naik.
Karena pertumbuhan ekonomi tertekan jika daya beli masyarakat lemah. Artinya di satu sisi inflasi tinggi sedangkan daya beli masyarakat turun. Inilah yang patut kita waspadai
Ekonomi Jambi mengalami stagflasi, bisa kita baca dengan mudah. Merujuk data, meski BPS mencatat terjadi pertumbuhan ekonomi Provinsi Jambi tahun 2021 sebesar 3,66 %. Angka ini masih belum mampu menyamai pertumbuhan di 2019 yang sebesar 4,35 %, meski ada peningkatan dari pertumbuhan di 2020 yang minus 0,44 %.
Pertumbuhan ekonomi ini selevel masuk dalam kategori Stagflasi, apalagi jika pertumbuhan ini sesungguhnya tetap minus, jika kita bandingkan dengan angka inflasi yang menjadi dalam kurun Juli dan Agustus 2022 lalu.
Lalu, indikator ke dua, masalah pengangguran, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Provinsi Jambi sebesar 5,09% pada 2021. Jumlah tersebut turun 0,04 poin dibandingkan tahun lalu yang sebesar 5,13%. Jumlah pengangguran terbuka di Provinsi Jambi sebanyak 93,76 ribu penduduk pada 2021.
Jika pengangguran sudah tinggi, ditambah inflasi yang tak terkendali, maka kemiskinan akan mengikuti, bak sebuah siklus yang berulang. Kemiskinan Propinsi Jambi mengalami stagnasi bahkan peningkatan, lihat saja data tahun 2011 kemiskinan mencapai 7,90 %, lalu 2012 meningkat 8,24 %, 2013 sebesar 8,41 %, 2014 sebesar 8,39 % dan 2015 naik 9,12 %
Membaca Stagflasi para ekonom biasanya melihat kasus yang terjadi di Amerika Serikat tahun 70 an . Ketika tingkat inflasi tumbuh dua kali lipat pada tahun 1973 dan mencapai double digit pada tahun 1974. Di sisi lain, tingkat pengangguran AS kala itu mencapai 9 persen per Mei 1975. Kondisi inilah yang menghantui Provinsi Jambi.
Stagflasi bisa sangat membahayakan. Karena stagflasi adalah sebuah kontradiksi dari gagasan ekonomi yang sehat. Stagflasi menekan pertumbuhan ekonomi dengan sangat hebat yang akan berdampak pada tingginya tingkat pengangguran.
Umumnya, meningkatnya taraf pengangguran di sebuah daerah akan berdampak pada penurunan daya beli konsumen. Jika hal tersebut terus terjadi secara tak terkendali, selain dapat berdampak pada hadirnya inflasi, stagflasi juga bisa memantik merosotnya nilai tukar uang. Uang seolah tak berharga, karena harga yang tinggi. Itulah sebabnya mengapa fenomena ini dianggap sangat buruk.
Stagflasi menghadirkan dilema bagi pengambil kebijakan. Bagai makan buah simalakama: dimakan ibu mati, tak dimakan ayah yang mati. Pengambil kebijakan mengalami kesulitan untuk menurunkan inflasi dan meningkatkan pertumbuhan secara bersamaan karena adanya trade-off antara inflasi vs pertumbuhan ekonomi (dan pengangguran).
Jika pemerintah dan Bank Indonesia berupaya mengatasi inflasi dengan pengetatan moneter dan fiskal, kebijakan tersebut akan menurunkan pertumbuhan ekonomi yang mengarah pada resesi dan naiknya tingkat pengangguran.Sebaliknya, jika kebijakan diarahkan untuk menjaga pemulihan dan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pelonggaran fiskal dan moneter, tingkat inflasi akan makin tinggi.
Oleh karena itu, pengambil kebijakan mungkin akan enggan untuk menarget tingkat inflasi ketika pertumbuhan ekonomi masih rendah seperti saat ini.
Bagaimana keluar dari kondisi simalakama stagflasi yang serbasulit ini? Sesungguhnya tidak ada jalan keluar yang mudah atas masalah yang didominasi gangguan sisi penawaran (supply-side shock) yang berasal dari kenaikan harga komoditas global ini.Dalam jangka pendek, sayangnya mungkin tidak banyak yang dapat pemerintah dan Bank Indonesia lakukan. Terkadang cukup menerima bahwa simalakama tersebut memang nyata. Kalaupun ada tindakan, paling hanya mempertahankan daya beli masyarakat dengan berbagai bantuan sosial, sebagai bantalan ekonomi sementara.
Penulis merupakan Ekonom