Oleh : Dr. Noviardi Ferzi*
PERSOALAN Batu Bara Jambi merupakan akumulasi pembiaran selama satu setengah dasa warsa lebih. 2005 hingga kini entah sampai kapan. Awal muasalnya, sekitar tahun 2000 an saat izin kuasa pertambangan (KP) masih dimiliki Bupati, di saat inilah fase awal semerawut Batu Bara terjadi.
Dalam kacamata pemerintahan Provinsi, secara gamblang persoalan yang diterima Gubernur Haris saat ini warisan dari Gubernur sebelumnya, warisan masalah dari zaman HBA hingga hari ini. Sebuah warisan masalah karena ketakberdayaaan.
Tak berdaya, karena Provinsi Jambi sebenarnya, telah memiliki Perda Nomor 13 Tahun 2012 tentang larangan operasi batu bara, yang sayangnya tak bisa dijalankan. Sebuah warisan yang sebenarnya memperlihatkan kepedulian HBA selaku Gubernur saat itu. Sebuah Warisan yang harus diselaikan Gubernur Haris saat ini.
Fenomena ketika ribuan truk batubara merampas hak masyarakat akan jalan. Akibatnya, tak terhitung lagi kasus kecelakaan yang terjadi, cacat atau bahkan meninggal dunia.
Hari ke hari truk pengangkut Batubara merayap melewati jalan melintas perkampungan dan perkotaan di Jambi. Berjuta-juta ton emas hitam keluar dari tambangnya di Sarolangun dan Bungo, Batubara itu diangkut hingga ke kawasan Talang Duku di Muaro Jambi.
Sudah lama Pelabuhan Talang Duku over load, kelebihan beban, saat volume angkutan yang diterimanya melebihi kapasitas yang dimiliki semua stok file yang ada disana.
Tahun 2021 saja ada 13 juta ton Batu bara Jambi keluar lewat Talang duku. Beban besar standar kurang, itulah kondisinya. Pemerintah selama ini terkesan tutup mata tentang Pelabuhan Batu Bara di Talang Duku tak didukung instrumen kelayakan yang baik untuk mempercepat bongkar muat menghindari kemacetan.
Sebelum Polda angkat bicara Gubernur dengan perangkatnya tak pernah bicara tentang pintu masuk pelabuhan, dilengkapi kantong parkir, lampu penerangan, infrastruktur jalan yang memadai, tenaga kerja didukung peralatan kerja yang memadai, dan tentunya tata kelola yang baik serta selalu mengutamakan keamanan, keselamatan dan kesehatan kerja. Bertahun-tahun semuanya gelap tanpa evaluasi.
Hari ini ketika wacana Sabak digunakan untuk angkutan (terminal khusus) Batu bara, banyak yang berharap pemindahan itu nanti mampu sedikit mengurai kemacetan. Meski ada beberapa kelompok yang juga mempertanyakan, atau juga kurang berkenan karena ada kepentingan lain yang berbeda. Namun, ditengah dinamika itu, ide pemindahan pelabuhan angkutan batu bara merupakan solusi yang paling logis.
Karena jika pelabuhan Muara Sabak difungsikan, dapat mengurai arus pengangkutan batu bara, untuk arus masuk ke pelabuhan dapat melewati batanghari II-zone 5, dan untuk keluar dari pelabuhan dapat melewati batanghari I via Sengeti.
Jalur ini bisa memecah arus masuk dan keluar truk batubara, selain itu untuk pengalihan jalan di Muara Sabak dengan dukungan lahan yang luas banyak alternatif jalan yang bisa dilakukan. Masalahnya, sejauh mana Gubernur mau melaksanakannya.
Kembali soal Batubara, secara nasional Provinsi Jambi tercatat sebagai penyumbang devisa yang cukup besar bagi negara. Dengan potensi batubara yang belum dieksplorasi sebanyak 788,65 juta ton, Jambi adalah salah satu lumbung batubara nasional.
Pemprov Jambi memang dituntut untuk mengambil peran aktif. Pasalnya, batu bara menjadi komoditas yang bisa diandalkan mendongkrak kesejahteraan masyarakat setelah masa kejayaan perkayuan, sedangkan pada sektor perkebunan ketimpangan kepemilikan antara perusahaan dan masyarakat pada sawit dan karet yang mendominasi ekonomi daerah.
Tidak seperti sekarang, meski harga emas hitam acuan saat ini tinggi, pengaruhnya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak signifikan. Harga naik, produksi meningkat. Namun, batu bara sifatnya padat alat, bukan padat karya. Jadi efeknya terhadap rekrutmen tenaga kerja tidak terlalu berpengaruh.
Namun, efek domino tetap ada. Dengan meningkatnya produksi, terjadi peningkatan permintaan terhadap keperluan alat. Pengusaha daerah yang bergerak di bidang alat berat sejak harga batu bara naik mendapatkan efek positif. Selain itu, pengusaha logistik seperti makanan dan bahan bakar ikut merasakan manisnya harga si batu hitam.
Tetapi secara luas, efek ekonominya tidak dirasakan Jambi. Itu karena kebanyakan perusahaan bukan milik pengusaha lokal. Akibatnya perputaran uangnya tidak di Jambi. Meski di atas kertas, naiknya harga batu bara memengaruhi produk domestic bruto (PDRB), namun emas hitam di Jambi belum banyak berperan dan memberikan manfaat bagi rakyat.
Padahal pemerintah Provinsi berwenang mengatur soal angkutan hasil tambang, karena sesuai UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara, sesuai ketentuan pasal 7 junto pasal 1 angka 6. Wewenang ini bertambah kuat dengan dikeluarkannya Perpres No 55 tahun 2022 yang mendelegasikan wewenang masalah pertambangan mineral dan batubara.
Kini tinggal kita menagih keberpihakan Gubernur Jambi, maukah memindahkan pelabuhan angkutan Batu bara dari Talang Duku ke Sabak.
Atau hanya seperti sekarang, pemerintah, khususnya Gubernur hanya mengulur waktu dengan solusi parsial sementara waktu, seperti memindahkan jalur jalan batubara dari Bulian, Bajubang, Tempino, Kota Jambi dan Talang duku.
Pertanyaannya, mau sampai kapan, dan sampai kapan pula, masyarakat di sepanjang jalan itu tahan ?
Penulis merupakan Pengamat Ekonomi