Jambi – Tokoh Jambi sekaligus Mantan Bupati Tanjungjabung Barat dua periode Usman Ermulan berkata, untuk mengatasi kemacetan di ruas jalan akibat truk angkutan batubara, harus membagi kepadatan arus bongkar di lima tempat yang ada di Provinsi Jambi.
“Kemacetan selama ini secara umum disebabkan oleh meningkatnya volume kendaraan angkutan batubara dan CPO. Karena hanya satu tujuan yakni ke Pelabuhan Talang Duku Muarojambi,” ujar Usman, Kamis, 20 Oktober 2022.
Menurut Usman, Gubernur Jambi Al Haris harus lebih memberdayakan potensi untuk memecah kepadatan aktivitas bongkar muat yang saat ini masih didominasi di Pelabuhan Talang Duku. Jika tidak, polemik di tengah masyarakat akan terus terjadi.
Orang dekat Moeldoko Kepala Staf Presiden ini menjelaskan, usahakan seluruh timbunan batubara atau stockpile ditampung di pingiran Sungai Batanghari. Diangkut menggunakan kapal tongkang kapasitas sampai 1.000 ton.
Selain Talang Duku, bisa dilakukan di Desa Tenam Kabupaten Batanghari, di Sungai Betara Teluk Serdang dekat dengan Pelabuhan Petrochina, Taman Raja yang sekarang Pelabuhan PT Integra.
“Batubara produksi dari Sarolangun bisa melewati jalan Margoyoso Sungai Bengkal langsung ke Simpang Niam. Atau bisa juga jalan Lintas Sumatera ke Merangin- Bungo-Tebo terus ke Simpang Niam – Lubuk Kambing – Merlung – Taman Rajo ke hulu Sungai Pengabuan, yang biasa dilakukan oleh PT Integra. Terakhir, di Pelabuhan PT WKS milik Sinar Mas di Teluk Nilau,” jelas Usman.
Dengan pengaturan itu, maka aktivitas masyarakat akan kembali normal. Berseliweran kapal-kapal di sepanjang Sungai Batanghari bisa menciptakan lapangan kerja baru bagi warga yang hidup di sepanjang sungai.
“Target pengeluaran 50 ribu ton perbulan terbilang cukup kecil jika mampu diurai, bahkan bisa lebih, daripada dipaksakan semua ke Talang Duku,” tambah Usman.
Usman yang juga bekas Anggota DPR RI tiga periode di Komisi Keuangan dan Perbankan mengungkapkan, negara Indonesia memerlukan devisa dari ekspor batubara maupun CPO. Ini tak boleh terganggu karena utang luar negeri lebih Rp7.000 triliun yan harus dibayar.
“Karena sudah ada yang jatuh tempo. Selain itu, menurut hemat kami peluang pasar batubara jangan sampai direbut oleh negara penghasil batubara lain. Seperti pernah terjadi pada penyetopan ekspor CPO, harga TBS petani Rp3.600 perkilogram jatuh tak terkendali tinggal Rp800 perkilo,” jelas Usman.
Itupun tak ada yang mau beli TBS petani karena tangki-tangki CPO di pabrik-pabrik sawit penuh. Penyetopan justru menguntungkan negara lain.
Tak hanya merugikan petani, Indonesia berpotensi kehilangan devisa ekspor. Bahkan negara mitra dagang Indonesia bakal protes keras.
Bukan tak mungkin mereka akan membalas larangan ekspor tujuan Indonesia. Serta, berisiko mengalami perang dagang dengan negara lain.
“Akibat peluang pasar direbut oleh negara-negara lain, sampai hari ini harga TBS petani baru sampai Rp2.500 perkilogram, setengah mati mau naik lagi.
Perlu diingat, pemerintah harus cepat atasi ini. Jangan sewenang-wenang menyetop ekspor. Karena yang akan menderita adalah negara sendiri, tidak punya uang untuk bayar utang dan rakyat yang bekerja untuk itu. Lantas, bagaimana kita mau memajukan republik ini? malah berpotensi menutup pendapatan negara dari devisa ekspor. Pengalaman CPO jangan sampai terjadi di batubara!, ” tegas Usman Ermulan.
Sementara itu, data dirilis BPS Provinsi Jambi pada awal Oktober 2022, nilai ekspor asal Provinsi Jambi pada bulan Agustus 2022 naik sebesar 13,97 persen dibandingkan bulan sebelumnya yaitu dari US$ 274,16 juta pada bulan Juli 2022 naik menjadi US$ 312,46 juta pada bulan Agustus 2022.
Terpisah, Pengamat Sosial Ekonomi Jambi Noviardi Ferzi menilai sikap Pemprov Jambi akan masalah batubara seperti menggampangkan masalah. Terkesan lepas dari tanggung jawab. Meskipun sudah ditarik ke pemerintah pusat, bukan berarti daerah lepas tangan atas penataan, pengelolaan, dan pelanggaran hukum di daerah.
Menurut Noviardi secara struktur, kabupaten kota masih memiliki dinas energi dan sumber daya mineral. Provinsi bisa mengkoordinasikan dinas ESDM di kabupaten kota. Secara administratif pun, masih ada inspektur pertambangan yang bisa difungsikan.
“Masalah angkutan Batubara adalah soal political will. Mau menertibkan atau tidak, karena pelanggaran di Jambi mustahil ditangani pemerintah pusat dengan cepat. Tanpa penegakan hukum, angkutan batubara ini hanya menjadi bom waktu dan menjadi preseden buruk bagi Gubernur, ” ungkapnya.
Selanjutnya Noviardi mengatakan aktivitas angkutan batubara sudah beberapa kali menyebabkan gesekan dengan masyarakat. Yang terbaru adalah warga Talang Duku Muaro Jambi angkutan batubara.
Truk yang melintas di jalan umum itu membawa batubara. Bahkan, pernah terjadi pembakaran truk oleh warga. Lalu, di Sridadi, masyarakat yang sampai memblokade jalan adalah luapan kekecewaan atas lemahnya penegakan hukum.
“Kalau Gubernur diam, saya meyakini, suatu saat masyarakat malah main hakim sendiri. Kalaupun melapor petugas, masalahnya jika tidak ada tindakan. Berdasarkan kasus yang sudah viral di medsos, mestinya sudah cukup alasan pemprov untuk menertibkan angkutan batubara” sambungnya.
Noviardi juga menambahkan bahwa daerah gagal paham mengenai kewenangan daerah menindak angkutan batubara. Dalam Perda 13 tahun 2012 dan UU Minerba, ada kewenangan yang bersifat memaksa berupa pidana kurungan atau denda.
Seharusnya, pemprov bisa memperkuat perda itu dengan Peraturan Gubernur tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyelenggaraan Jalan Umum dan Jalan Khusus untuk Kegiatan Pengangkutan Batu Bara.
Perda dan pergub ini masih berlaku dan tidak tumpang tindih dengan UU Minerba yang sudah direvisi. Noviardi mengatakan, inspektur tambang harus bergerak di lapangan karena punya kewenangan menindak dan menahan.
“Tidak ada dalam UU Minerba yang secara tegas menyatakan kewenangan penindakan tambang ditarik pemerintah pusat. Daerah masih punya kewenangan,” tegasnya. (Deni)