Kekalahan di WTO sempat dikhawatirkan menjadi batu sandungan untuk mempercepat hilirisasi dan industrialisasi di Tanah Air. Bangsa yang kaya akan sumber daya alam ini tentunya sudah jera setelah puluhan tahun hanya menjadi eksportir bahan mentah tanpa menghasilkan nilai tambah.
Namun pemerintah sudah mengambil sikap. Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) “ngotot” bahwa hilirisasi komoditas tambang harus terus berjalan.
Presiden memahami larangan ekspor bahan mentah tambang dari Indonesia akan merugikan banyak negara lain yang selama ini terlena dengan kebijakan longgar atas sumber daya alam Indonesia.
Dalam hal nikel, Uni Eropa (UE) merasa tidak nyaman dengan larangan ekspor mineral logam itu karena dapat mengganggu pertumbuhan industri baja antikarat (stainless steel) di negara-negara anggota blok tersebut.
Nikel kerap disebut sebagai the mother of industry karena pengolahan jenis logam ini menghasilkan produk turunan ke banyak sektor yang dibutuhkan manusia seperti sendok, baterai, telepon genggam, hingga kendaraan.
Nikel juga diprediksi akan menjadi primadona seiring dengan meningkatnya kebutuhan bahan baku mineral logam itu untuk produksi baterai dan kendaraan listrik yang digadang-gadang sebagai salah satu industri masa depan.
Indonesia menguasai lebih dari 20 persen total ekspor nikel dunia. Indonesia juga menjadi eksportir nikel terbesar kedua untuk industri baja negara-negara Uni Eropa.
Menurut Badan Geologi Kementerian ESDM, cadangan bijih nikel yang terkira adalah sebanyak 3,74 miliar wet metric ton (wmt) dan yang terbukti sebanyak 1,49 miliar wmt sehingga total cadangan bijih nikel yang ada di Indonesia sebanyak 5,24 miliar wmt.
Namun sebagai negara yang berdaulat dan berpegangan pada konstitusi UUD 1945, Indonesia mutlak melakukan hilirisasi karena sumber daya alam harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Tanpa hilirisasi, rakyat hanya menikmati segelintir manfaat dari kekayaan alam.
Pemerintah memahami hilirisasi sepatutnya sudah dilakukan sejak lama. Hilirisasi memiliki tujuan baik yakni untuk memberikan nilai tambah ekonomi atas kekayaan alam, menciptakan banyak lapangan kerja, dan meningkatkan pendapatan negara.
Maka itu, alih-alih gentar, Presiden semakin bersemangat melanjutkan hilirisasi. Proses pengolahan bahan mentah tambang akan dilanjutkan ke komoditas lain seperti bauksit, tembaga, timah, dan emas.
“Baru 2 bulan lalu kita kalah tapi keberanian kita hilirisasi barang-barang mentah itu yang terus kita lanjutkan meski kita kalah di WTO,” kata Presiden Jokowi di hadapan ribuan sukarelawannya, Jakarta, 27 November 2022.
Tidak hanya nikel, Indonesia terus menunjukkan keseriusan dalam mendorong komoditas tambang lainnya. Upaya hilirisasi itu ditunjukkan dengan getolnya pemerintah dan swasta membangun instalasi pemurnian dan pengolahan (smelter).
Saat ini Indonesia sudah memiliki 21 smelter, dan direncanakan akan bertambah tujuh smelter pada tahun ini. Sebanyak 21 smelter tersebut terdiri atas 15 smelter nikel, dua smelter bauksit, 1 smelter mineral besi, 2 smelter tembaga, dan 1 smelter mineral mangan.
Manfaat hilirisasi
Indonesia menerapkan larangan ekspor bijih nikel sejak Januari 2020 sebagaimana tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Sejak 2 tahun diberlakukan larangan ekspor nikel, menurut Presiden Jokowi, Indonesia memetik cukup banyak manfaat. Hal itu menjadi salah satu dorongan agar pemerintah menerapkan kebijakan serupa untuk komoditas tambang lain.
Presiden menyebut nilai ekspor bahan mentah nikel sebelum memasuki proses hilirisasi hanya Rp15 triliun. Angka itu meningkat drastis hingga Rp360 triliun ketika bahan mentah nikel diolah terlebih dahulu untuk menjadi produk setengah jadi atau jadi.
Nilai bijih nikel yang diolah menjadi feronikel akan naik hingga 10 kali lipat, sedangkan jika diolah menjadi baja antikarat (stainless stell) akan bertambah 19 kali lipat.
Selain nikel, komoditas tambang lain pun dikenal memiliki efek pengganda ekonomi ketika mengalami proses hilirisasi. Misalnya, bauksit yang diolah dan dimurnikan menjadi alumina akan bernilai delapan kali lipat. Alumina yang ditingkatkan menjadi aluminium akan bernilai hingga 30 kali lipat dibandingkan dengan saat masih berupa bijih bauksit.
Hilirisasi dimaknai Presiden Jokowi sebagai salah satu fondasi ekonomi Indonesia yang harus dibangun dan selalu diperkuat.
Dalam berbagai taklimatnya, Presiden menyatakan upaya membangun dan memperkuat fondasi ekonomi jangan berhenti hingga 2024 atau ketika masa pemerintahannya habis.
Fondasi ekonomi yang salah satunya hilirisasi harus terus diperkuat agar daya saing Indonesia terus meningkat. Indonesia memiliki cita-cita agar ketika merayakan ke-100 kalinya peringatan Kemerdekaan RI pada 2045, ekonomi domestik dapat menjadi lima besar dunia.
Karena itu fondasi harus terus diperkokoh. Hilirisasi harus terus diperjuangkan. Langkah pemerintah yang akan mengajukan banding atas putusan Badan Sengketa WTO sudah tepat.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan pemerintah sedang menyiapkan materi banding atas putusan WTO tersebut.
Simpulan putusan DSB WTO adalah kebijakan larangan ekspor dan kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral nikel di Indonesia terbukti melanggar ketentuan WTO Pasal XI.1 GATT 1994 dan tidak dapat dijustifikasi dengan Pasal XI.2 (a) dan XX (d) GATT 1994.
Hal penting yang perlu ditindaklanjuti Menteri ESDM adalah agar Indonesia menyiapkan materi banding dengan argumentasi yang kuat agar kekalahan tak berulang, sembari mempercepat pembangunan infrastruktur untuk hilirisasi seperti halnya smelter.
Di sisi lain, Indonesia juga perlu bersiap jika Uni Eropa menyiapkan langkah retaliasi (pembalasan) melalui cara lain yang dapat mengancam perekonomian Indonesia.
Perlu diingat bahwa sebagai penganut sistem ekonomi terbuka, Indonesia memiliki kepentingan terhadap pasar dan interkoneksi ekonomi global. Kepentingan kerja sama multilateral perlu dipertahankan tanpa mengabaikan kepentingan dalam negeri. (Ant)