Oleh: M. Ridwansyah
(Dosen FEB Universitas Jambi dan Tenaga Ahli Gubernur Bidang Ekonomi Pembangunan)
Berbagai masalah sosial yang timbul dari aktivitas tambang batu bara di Provinsi Jambi akhir-akhir ini telah menyita perhatian berbagai kalangan terhadap dampak yang ditimbulkan. Mulai dari kerusakan fungsi ekologis sampai kepada kecelakaan dan kemacetan parah yang menimbulkan dampak negatif terhadap perekonomian masyarakat.
Banyak pernyataan seolah-olah masalah ini terjadi baru-baru ini saja, pada hal masalah ini sudah terjadi sejak lama, paling tidak sudah terjadi sejak dua dekade yang lalu saat dimulainya era batu bara di Jambi.
Fenomena ini sebetulnya jamak terjadi pada negara sedang berkembang. Auty (1993) seorang ilmuwan sosial secara tegas menyebutnya dengan „resource curse“ atau „kutukan sumber daya alam“, yakni suatu paradoks ketika negara negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam, justru memiliki kesejahteraan masyarakat yang buruk serta pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah dibandingkan negara negara lainnya.
Salah satu penyebab penting munculnya paradoks ini adalah mismanajemen dari penerimaan SDA sehingga menimbulkan berbagai dampak sektoral lainnya. Selain di level negara, fenomena kutukan SDA disinyalir juga menimpa daerah, beberapa penelitian telah membuktikan hipotesis kekayaan SDA yg dimiliki suatu daerah tenyata berkorelasi negatif dengan perekonomian daerahnya.
Sehubungan dengan eksploitasi batubara serta dampak yang ditimbulkan, benarkah fenomena kutukan sumberdaya alam telah terjadi di Jambi?. Tulisan ini berupaya secara objektif menggunakan data untuk menjelaskannya.
Kementrian ESDM melaporkan bahwa cadangan batubara Provinsi Jambi sebesar 1,9 miliar ton dimana kuota produksi batu bara tahun 2022 sebesar 42 juta ton per tahun. Realisasinya masih jauh dari angka tersebut sekitar 13 juta ton per tahun, atau hanya sebesar 30%.
Jika menggunakan data yang tersedia pada laman BPS dengan periode yang lebih panjang yakni periode 2006 sd 2018, pada tahun 2006 produksi batu bara tercatat sebesar 221 juta ton dan tahun 2018 tercatat 11, 1 juta ton dimana produksi tertinggi tercatat pada tahun 2008 sebesar 421,6 ton. Jadi sebetulnya eksploitasi batu bara di Jambi jauh berada dari quato yang diberikan dan selama 12 tahun terakhir mengalami penurunan.
Bank Indonesia Perwakilan Jambi melaporkan bahwa hingga triwulan IV 2022, lapangan usaha pertambangan berkontribusi terhadap perekonomian Provinsi Jambi sebesar 19,31% dengan andil terhadap peertumbuhan ekonomi Jambi sebesar 1,29% (terhadap pertumbuhan ekonomi Jambi tahun 2022 sebesar 5,13%). Ini berati sektor pertambangan menyumbang 25% terhadap kinerja pertumbuhan ekonomi Jambi pada tahun 2022, urutan kedua setelah sektor pertanian yang memberikan andil paling besar (48,5%).
Namun kinerja sektor pertambangan ini tidak seperti sektor üertanian yang banyak menyerap tenaga kerja. Berdasarkan Laporan Sakernas BPS 2020, seketor pertambanagn di Provinsi Jambi, hanya menyerap 1,8% dari total angkatan kerja di jambi, sedangkan sektor pertanian mencapai 47,8%.
Dilihat dari tingkat ekemiskinan, tahun 2006 tercatat persentase orang miskin di Provinsi Jambi terdapat 11,37% sementara pada tahun 2018 tercatat 7,92. Hingga tahun 2022 jumlah penduduk miskin di Propinsi Jambi menjadi 7,62%, relative kecil dibandingkan rata-rata tingkat nasional yang mencapai 9,54%. BPS provinsi Jambi juga melaporkan, bila dikaji dari indeks keparahan kemiskinan, selama periode yang lebih panjang, yaitu periode 2005-2022, indeks keparahan kemiskinan cenderung turun sampai dengan tahun 2022.
Mengingat eksploitasi batu bara terjadi di daerah pedesaan, persentase jumlah penduduk miskin di daerah pedesaan juga mengalami penurunan. Pada tahun 2003 jumlah penduduk miskin di pedesaan tercatat sebesar 10,46%, pada tahun 2022 mengalami penurunan yang siginifikan menjadi 6,19%.
Dari penyajian data di atas, dapat disimpulkan Provinsi Jambi berhasil melewati fenomena kutukan sumberdaya alam sebagaimana dilontarkan oleh banyak pengamat. Namun demikian, mengurai persoalan kompleks dalam lapangan usaha batu bara, Pemerintah Jambi perlu betul menerapkan tata kelola pemerintahan yang baik agar terhindar dari marginalisasi negatif serta berdampak luas dan nyata bagi kesejahteraan masyarakat.
Sebagai penutup, menghadapi situasi seperti sekarang ini, berhentilah saling menyalahkan karena masyarakat Jambilah yang paling dirugikan kalau masalah batu bara ini tidak diatasi secara komprehensif. Setiap kalangan atau stakeholder harus bersatu, punya niat baik, dan berkontribusi nyata.