Penulis: Dr. Asnelly Ridha Daulay, Kepala Bidang Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan pada Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jambi. Ia merupakan Istri Tokoh Pers Jambi, H. Mursyid Sonsang.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi fenomena strong El Nino akan terjadi tahun 2023 ini, dimana Indonesia mengalami kemarau panjang atau mundurnya awal musim hujan. Siklus empat tahunan berupa musim kering ekstrim ini sangat beresiko terhadap kejadian kebakaran hutan dan lahan (Karhutla).
Daerah-daerah yang memiliki lahan gambut di Sumatra dan Kalimantan merupakan langganan karhutla di saat musim kering tersebut.
Berkaca dari siklus El Nino empat tahun lalu (tahun 2019), data Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebutkan Karhutla menyebabkan lahan dan hutan terbakar seluas 1.649.258 Ha yang terdiri 1.154.807 Ha lahan mineral dan 494.450 ha lahan gambut (30% dari total lahan terbakar). Bila ditambahkan informasi dari periode El Nino 8 tahun lalu (tahun 2015), luas lahan terbakar 2,6 juta ha alias jauh lebih banyak.
Dampak kebakaran ini sudah sama-sama kita ketahui, mulai dari kehilangan hutan dan keragaman biodiversitas (fauna flora), bencana asap, gangguan kesehatan hingga terganggunya jalur penerbangan di daerah kejadian.
Beberapa aksi yang dilakukan pemerintah daerah untuk mengendalikan karhutla adalah dengan membentuk dan menggerakkan Satgas Karhutla di level pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) di level desa, serta penggunan teknologi pemantauan asap (dikenal dengan Asap Digital). Aplikasi ASAP Digital Nasional diinisiasi oleh Kepolisian Republik Indonesia dan mulai diimplementasikan tahun 2020 lalu.
Perusahaan-perusahaan swasta nasional skala besar, khususnya yang beroperasi di lahan gambut diprioritaskan dan diwajibkan memasang aplikasi ini secara mandiri di area perkebunan mereka.
Asap Digital sangat bermanfaat untuk memantau adanya percikan api di awal terjadinya kebakaran.
Pola sebaran api di lahan gambut jauh berbeda dan jauh lebih sulit ditangani dibandingkan kebakaran di lahan mineral. Api di lahan gambut menjalar di bawah permukaan tanah sehingga sulit dideteksi, serta menimbulkan asap tebal yang menyebabkan pasukan pemadan kebakaran sulit memobilisasi alat pemadam dan tenaga kerja.
Sebagai deteksi dini kebakaran lahan gambut, diperlukan alat lain yang ditanam di bawah tanah. Alat tersebut Water Level Data Logger atau alat pemantau tinggi muka air tanah akan memberi tanda-tanda bahwa tanah gambut sedang dalam kondisi ‘demam’ sehingga hal ini bisa menjadi sinyal untuk membasahi lahan atau menyiagakan peralatan pemadam kebakaran yang dimiliki MPA dan Satgas Karhutla (satuan di level kabupaten/kota dan provinsi).
Data yang dihasilkan oleh alat ini bersifat otomatik, radius akurasi pengukuran tinggi muka air tanah sekitar 300 ha, data digitalnya dapat diterima di HP android dan disebarkan kepada pemangku kepentingan seperti anggota MPA dan Satgas Karhutla. Update data TMAT dikeluarkan setiap satu jam.
KLHK memberi arahan tata kelola air di lahan gambut harus memenuhi indikator pemantauan tinggi muka air tanah (TMAT) < 0,4 meter. Seandainya angka pemantauan TMAT 50 cm, itu merupakan peringatan dini bahwa kebakaran lebih mudah terjadi dibanding ketika level air di angka 40 cm atau 30 cm. Pada situasi tersebut Tim Satgas Karhutla harus waspada, menggencarkan patroli dan kampanye ke masyarakat agar tidak membakar apapun di lahan, atau tidak membuang puntung rokok sembarangan. Hal-hal yang dianggap sepele tersebut cukup untuk memicu kebakaran di lahan gambut.
Beberapa lembaga seperti Badan Restorasi Gambut (BRG) dan Korea-Indonesia Forest Centre (KIFC) menjadi sponsor atau pemberi dana pemasangan alat ini di berbagai tempat di Sumatra. Perusahaan perkebunan sawit yang areal perkebunannya pernah terbakar, mendapat sanksi KLHK dan masuk program pemulihan lahan bekas terbakar telah memasang alat ini. Beberapa alat pengukur TMAT sebelumnya dipasang di Hutan Lindung Gambut Londerang, Tanjung Jabung Timur namun terbakar pada 2019 lalu.
Melihat luasnya lahan gambut yang harus dijaga, diperlukan banyak alat pengukur TMAT. Sayangnya biaya pembelian alatnya cukup mahal (1 unit alat kisaran harganya Rp 80 juta sampai Rp 100 juta).
Mempertimbangkan hal tersebut, prioritas pemasangan alat di area penggunaan lain (APL) yang pernah terbakar. Beberapa alat juga dipasang di dekat sekat kanal. Selain sebagai early warning system karhutla, tujuannya juga untuk melihat kemajuan program pembasahan lahan (rewetting) yang merupakan manfaat harapan dari pembangunan sekat kanal dan melakukan intervensi tata kelola air di lahan gambut.
Hal yang perlu ditingkatkan terkait pemanfaatan data tinggi muka air tanah adalah penyebaran data tersebut ke masyarakat dan tim Satgas Karhutla serta memahami hubungan data level air tersebut dengan resiko kebakaran lahan. Saat ini hal tersebut belum akrab di tengah masyarakat. Masyarakat dan pemerhati karhutla lainnya mungkin lebih akrab dengan data hot spot (titik panas) dan indeks kualitas udara dibanding data TMAT ini.
Mengingat alat ini telah terpasang di berbagai tempat rawan kebakaran meskipun jumlahnya belum banyak, sudah semestinya dimanfaatkan dengan baik. Perangkat organisasi pemerintah daerah dan lembaga yang tergabung dalam Satgas Karhutla dapat memanfaatkan data tinggi muka air tanah ini untuk mengambil keputusan terkait mobilisasi tim dan keputusan penting lainnya.
Sebelumnya perlu disepakati siapa/lembaga apa yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan data TMAT tersebut ke pihak-pihak yang berkepentingan. Kesepakatan itu belum ada dan perlu ditetapkan agar data TMAT bermanfaat untuk mencegah Karhutla.