Penulis : Dr. Asnelly Ridha Daulay, M.Nat.Res.Ec (Ahli Lingkungan)
DEFISIT anggaran APBD Provinsi Jambi yang konon mencapai Rp400 miliar menunjukkan pentingnya Pemerintah Provinsi Jambi mencari sumber-sumber penghasil uang untuk membiayai kegiatan pembangunan.
Sumber-sumber pendapatan asli daerah yang lazim diupayakan saat ini adalah pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (Pasal 31 PP No 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah).
Pada tahun 2019 lalu saya bertugas di Badan Litbang Daerah Provinsi Jambi dan memimpin Tim Peneliti untuk suatu kajian; mencari strategi meningkatkan PAD melalui retribusi jasa usaha. Agaknya rekomendasi dari kajian tersebut diabaikan begitu saja padahal waktu itu tren penurunan pendapatan daerah telah terlihat. Banyak UPTD tidak mampu mencapai target pendapatannya.
Salah satu sumber pendapatan baru Pemerintah Provinsi Jambi yang sangat potensial di masa datang adalah Unit Pengolah Limbah Berbahaya dan Beracun (LB3) Medis yang dibangun di Desa Senamat Kecamatan Pelepat Kabupaten Bungo.
Unit pengolah limbah B3 atau yang populer disebut insinerator, merupakan hibah dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 dengan dukungan dana sharing dari APBD Provinsi Jambi. Ini merupakan unit pengolah limbah B3 pertama yang ada di Provinsi Jambi, dan hibah insinerator KLHK yang ketiga di Sumatra (setelah Aceh dan Sumbar).
Urgensi pembangunan unit pengolah limbah ini muncul ketika dunia diserang virus covid-19. Muncul pemikiran limbah medis seharusnya dimusnahkan di wilayah penghasil limbah tersebut, untuk menghindari resiko penyebaran virus/bakteri karena tata kelola limbah yang tidak baik.
Sederet persyaratan untuk memperoleh hibah itu berhasil dipenuhi oleh Pemerintah Provinsi Jambi, mengalahkan saingan-saingannya yaitu pemerintah provinsi lain yang juga ingin memiliki fasilitas pemusnah LB3 medis.
Setelah fasilitas itu berdiri, bagaimana mewujudkan potensi itu jadi sumber riil inkam ke kas daerah? Secara hitungan sederhana insinerator dapat menghasilkan Rp20 miliar rupiah per tahun dengan asumsi mesin bekerja 20 jam/hari dan tarif pemusnahan limbah Rp17.000/Kg.
Itu adalah hitungan sederhana. Namun hitungan bisnis memerlukan kalkulasi yang lebih detil, termasuk biaya operasional lainnya (listrik, angkutan, bahan bakar, maintenan alat) dan upah tenaga kerja. Apalagi unit pengolah limbah ini memerlukan kehati-hatian tingkat tinggi, tentu harus ada tim teknis yang mengawasinya agar dampak lingkungan terpantau dini sebelum menjadi hal yang menyusahkan lingkungan dan masyarakat sekitar.
Mengingat konsideran di atas, muncul pertanyaan apakah unit usaha pengelola insinerator ini bisa untung jika dikelola sendiri oleh Pemprov Jambi? Atau baiknya dikelola UPTD atau lembaga swasta yang profesional?
Pertanyaan ini membutuhkan analisa mendalam dan kejujuran untuk menjawabnya.
Kondisi saat ini banyak UPTD milik pemerintah daerah yang terlalu gemuk jumlah pegawainya dan biaya rutin tinggi sementara pendapatan pas-pasan. Agar hal itu tidak terjadi pada unit usaha yang mengelola insinerator, Pemprov Jambi disarankan selektif menentukan bentuk badan pengelolanya. Sebagai pertimbangan, usaha sejenis di Jawa Barat dikelola oleh BUMD Jasa Medivest dengan pendapatan yang menggiurkan, bahkan kini telah menambah dua unit mesin insineratornya. Insinerator di NTB dikelola perusahaan swasta dengan pola bagi hasil.
Selain sumber cuan, insinerator ini memiliki nilai kemaslahatan yang tinggi bagi masyarakat luas dan efisiensi anggaran APBD. Nilai kemaslahatan yang saya maksudkan di sini adalah semakin minimal resiko penyebaran bakteri dan virus dari sumber fasilitas kesehatan (sisa operasi, obat dan bahan kimia kadaluarsa dll) sebab tidak diangkut lagi ke luar daerah yang memiliki fasilitas pembakar limbah. Jika Jambi sudah punya mesin insinerator, tentu LB3 tidak perlu menempuh jarak jauh untuk dimusnahkan. Kejadian seperti limbah dibuang ke semak-semak, jurang atau badan air dapat ditekan.
Efisiensi anggaran APBD memungkinkan bila dana yang dialokasikan oleh setiap Rumah Sakit, puskesmas, dan klinik pemerintah untuk membayar jasa pihak ketiga (perusahaan pengumpul dan pengangkut LB3) kembali masuk ke APBD Provinsi Jambi alias dibayarkan ke unit pengolah limbah medis di Desa Senamat ini. Dijamin puluhan miliar uang APBD dapat dihemat dan puluhan miliar lagi uang baru masuk dari faskes milik swasta yang menggunakan pelayanan insinerator milik daerah.