Oleh: Bahren Nurdin (Pengamat Sosial dan Kebijakan Publik)
Sebagai akademisi, jika ada yang bertanya ‘masih percayakah hasil survei?’ Maka jawabannya, tanpa keraguan, adalah ‘ya’. Saya masih percaya! Survei merupakan alat akademis yang fundamental, mengandalkan metodologi ilmiah yang ketat untuk mencapai keabsahan dan kebenaran.
Kegigihan dalam menjaga keaslian metodologi survei merupakan kunci untuk mempertahankan integritasnya—sama halnya dengan kejernihan air mineral yang kita percaya akan kemurnian dan kesuciannya.
Saya menganalogikan survey itu seperti air mineral. Air mineral yang bening dan suci simbolisasi dari survei yang bersih dari manipulasi; sebuah alat yang memberikan gambaran yang tidak ternoda oleh kepentingan luar. Namun, sekali ‘zat asing’ ditambahkan—katakanlah sirup yang menyegarkan atau racun yang mematikan—maka sifat aslinya berubah. Air mineral dengan sirup mungkin menyenangkan, memberikan kesegaran, namun bila terkontaminasi racun, konsekuensinya bisa fatal.
Realitas survei politik saat ini tidak lagi selalu mencerminkan kejernihan tersebut. Terlalu sering kita melihat survei yang ‘diracuni’ oleh kepentingan—entah itu ekonomi atau politik. Survei yang telah terkontaminasi ini menjadi alat yang berbahaya, menyesatkan publik daripada memberikan pencerahan.
Ada begitu banyak dampak negatif survey-survei yang dilakukan tanpa kaedah akedemik yang baik dan telah terkontaminasi. Survei yang bias dapat mempengaruhi opini publik dengan cara yang tidak adil, mengarahkan persepsi masyarakat untuk mendukung agenda tertentu. Ini dapat mengurangi kualitas diskusi publik karena didasarkan pada informasi yang salah.
Bahkan, survei yang menyesatkan dapat menciptakan atau memperburuk ketidakstabilan politik dengan memicu konflik berbasis pada pemahaman yang salah tentang sentimen publik atau tingkat dukungan terhadap isu tertentu.
Lebih jauh lagi, ketika survei digunakan sebagai alat propaganda, bersembunyi di balik topeng objektivitas ilmiah, mereka meracuni pilar demokrasi yang kita bangun dengan informasi yang menyesatkan. *Ini adalah survei-survei yang harus kita tolak, yang harus kita lawan dengan kritis, karena mereka bukan lagi murni*. Mereka adalah cerminan dari keinginan mereka yang berkuasa untuk mempengaruhi, bukan untuk menginformasikan.
Namun, ketika survei dilakukan dengan tulus dan tanpa gangguan eksternal, hasilnya bisa menjadi sumber informasi yang sangat bernilai. Survei yang murni memberikan wawasan yang bisa membantu memahami dinamika sosial dan politik yang ada, memberikan suara pada yang bisu, dan membantu membentuk kebijakan yang lebih baik. Ini adalah survei yang masih saya percayai, survei yang bertahan dalam menghadapi tekanan untuk berubah menjadi alat manipulasi.
Untuk menjaga integritas proses demokrasi dan informasi publik, penting bagi lembaga survei untuk mematuhi standar etika yang tinggi dan transparansi dalam metodologi mereka. Masyarakat dan pemangku kebijakan juga harus kritis terhadap sumber dan metode survei sebelum menerima hasilnya sebagai fakta.
Karena itu, saya menyerukan kepada lembaga survei, akademisi, dan masyarakat untuk sama-sama berkomitmen pada kebenaran dan integritas. Kita harus bersama-sama memastikan bahwa survei yang kita gunakan, yang kita baca, yang kita dengarkan, adalah survei yang memenuhi standar akademik tertinggi—murni dan tidak terkontaminasi. Survei sejati adalah instrumen demokrasi yang kuat dan harus dilindungi sebagai salah satu alat terpenting dalam memahami dan membentuk masa depan politik kita.
Akhirnya, ya, saya masih percaya pada survei—survei yang sejati, yang dilakukan dengan integritas dan tanpa pengaruh eksternal yang merusak. Tapi, saatnya kita harus berani menolak hasil survei yang sarat kepentingan dan keberpihakan dengan berbagai motif. Sepatutnya kita lebih kritis terhadap hasil survey. Semoga#