Oleh: Hery FR, pengurus PWI-SMSI Pusat, Penguji Kompetensi Wartawan, Eks Sekretaris PWI Provinsi Jambi
SEPERTI biasanya, setiap pagi selalu menikmati riitual segelas kopi pahit ditemani kepulan asap jie sam soe sambil membuka PC melihat berita-berita masuk.
Saat tegukan ke 7 kopi pahit, tiba-tiba ada notifikasi WA massengger dari seorang sahabat wartawan muda Anil Hakim mengirim draft opini dengan judul “Panggil Kami Wartawan atau Jurnalis”.
Sebaris pesan lainnya “Izin, apakah ini layak untuk diterbitkan kanda ketua ?”
Tak pelak lagi saya harus melihat draft tulisan opini karya sang wartawan muda tersebut.
Dalam opini tersebut bagaimana keresahan Anil Hakim atas “Penumpang Gelap” yang bikin resah profesi yang dibanggakannya sebagai wartawan jadi ajang tumpangan oknum yang kurang layak disebut wartawan.
Keresahan sang wartawan muda yang dituangkan dalam bentuk karya tulis ini seakan menjadi “Tamparan keras” dan membuat kopi yang saya minum makin pahit.
Bagaimana tidak, sejak beberapa tahun terakhir karena kesibukan sebagai pengurus organisasi pers dan lainnya, nyaris sudah tidak pernah lagi menulis opini.
“Tamparan” makin terasa keras ketika bagaimana dalam berbagai kegiatan sharing knowledge, FGD dan seabrek diskusi sering memberi motivasi ke teman-teman muda agar terus berkarya secara istiqomah sebagai refleksi rasa syukur atas talenta yang Allah SWT Anugerahkan sebagai wartawan yang konon sebagai profesi “Nabi-Nabi Kecil” sebagai pembawa pesan dan informasi pendidikan, hiburan dan kontrol sosial sebagaima fungsi pers yang diatur dalam undang-undang nomor 40/1999.
Dan kopi terasa makin pahit ketika teringat pesan Rosulullah SAW tentang bagaimana pentingnya menjadi pribadi yang layak dicontoh harus memberi contoh dalam bentuk perbuatan.
“Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna, tapi berpikir tanpa belajar itu sangatlah berbahaya” (Ir. Sukarno)