Menurut Kabid TPHP Provinsi Jambi, tahun lalu sawah seluas 3.529 hektar di Provinsi Jambi mengalami gagal panen akibat banjir.
Di antara ribuan hektar itu, 137,5 hektar lahan sawah berada di Kota Jambi. Lalu, 486 hektar di Kabupaten Batanghari, 214 hektar di Kabupaten Bungo, 60 hektar di Kabupaten Tebo, 46 hektar di Kota Sungai Penuh, dan sisanya Kabupaten Sarolangun, Merangin dan Muaro Jambi.
Bencana ekologis ini cukup mengerikan: tambang emas, tambang batubara, perkebunan sawit, banjir besar menjadi ancaman gagal panen setiap tahun.
Secara prosedur Pemda Jambi telah melaksanakan aturan menurut ketentuan undang-undang. Untuk mengukur status lingkungan hidup dilakukan dengan berbagai instrument.
Instrumen pertama yang digunakan adalah merujuk kepada UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU Lingkungan Hidup).
Dengan mekanisme daya dukung dan daya tampung (Caryng capacity ) lingkungan hidup.
Melalui mekanisme ini, salah satu bentuk tindakan pengamanan akibat pembangunan yang berdampak kepada lingkungan hidup (safeguard).
Instumen kedua mengukur instrument mutu lingkungan hidup berdasarkan hak asasi manusia. Dalam pasal 28H ayat (1) UUD 1945 dinyatakan setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
Ketiga, pengukuran instrument mutu lingkungan hidup berdasarkan pengetahuan (scientific). Instrument yang digunakan dengan mengggunakan indeks faktor fisik lingkungan, udara, air dan tanah.
Hasil pengukuran dari berbagai peristiwa memberikan penilaian dari lingkungan hidup dg terjadi kenaikan suhu udara (mitigasi) menghadapi perubahan lingkungan hidup.
Indeks yang digunakan meliputi udara ketika musim panas yang dapat menyebabkan kebakaran hutan serta penurunan debit dan muka air sungai Batanghari.
Sungai Batanghari adalah rumah untuk berbagai limbah, organik maupun limbah.
Apakah sungai Batanghari sudah tercemar? entahlah. Yang jelas semua limbah berbahaya seperti organoclor, organopospat dari pupuk dan pestisida, merkuri dari penambangan emas berkumpul di habitat sungai Batanghari.
Ironisnya, air ini pula yang menjadi sumber air baku PDAM Jambi. Sebaiknya sumber air minum masyarakat haruslah memenuhi tiga kriteria pokok dengan terpenuhinya standar fisik, biologis dan kimia, sehingga kebutuhan air masyarakat betul-betul higienis.
Selain itu juga, perubahan dan penurunan mutu lingkungan hidup juga dilihat dari dua aspek. Pertama, akibat campur tangan manusia. Kedua, perubahan iklim global yang mempengaruhi lingkungan hidup di Jambi.
Dengan menggunakan tiga instrument mutu lingkungan hidup, kerusakan lingkungan semakin menjadi-jadi, seperti dicontohkan melalui hasil survey yang dilakukan WALHI Jambi, di mana penurunan mutu lingkungan hidup dimulai dari penghancuran hutan (deforestrasi).
Laju kerusakan hutan mencapai 871.776 hektare (ha) selama tiga tahun terakhir. Angka ini melebihi angka deforestrasi nasional yang mencapai 613 ribu hektar.
Laju kerusakan hutan (deforestrasi) menyebabkan luas lahan kritis di Provinsi Jambi pada tahun 2007 yaitu 618.891 ha (kritis 614.117 ha dan sangat kritis 4.774 ha).
Pada tahun 2011, luas lahan kritis meningkat menjadi 1.420.602 ha (kritis 341.685 ha dan sangat kritis 1.078.917 ha.
Selanjutnya WALHI Jambi menyebutkan bencana telah menambah penderitaan masyarakat. Walhi menyebutkan sebagai bencana ekologi.
Banjir yang meluap dari Sungai Batang Tembesi mengakibatkan sekitar 843 rumah terendam tahun 2013. Pada tahun 2015, banjir ini kemudian menenggelamkan desa-desa seperti Tiga Alur, Dusun Baru, Desa Bukit, Desa Perentak dan Desa Bungo Tanjung yang terletak di Kecamatan Pangkalan Jambi, Merangin. Banjir yang tidak perlu terjadi
Begitu juga, mulai berjatuhannya korban. Tiga orang di Renah Pembarap, Merangin (Desember 2014), 2 orang di Renah Pembarap Merangin (Oktober 2014), 4 orang di Batangasai, Sarolangun (Mei 2014), 2 di Batangasai (September 2013).
Angka-angka ini sekedar mewakili kesuraman pengelolaan buruk di sektor tambang yang berhasil diliput oleh media.
Dampak bencana banjir sampai saat ini juga terjadi di enam kabupaten/kota yang berstatus tanggap darurat,” kata Kepala Seksi Kedaruratan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jambi Lailatul Qodri, di Jambi. Sekitar 2.570 ha lahan pertanian terdampak banjir di empat kabupaten dan kota di Provinsi Jambi pada 24 Januari 2024.
Kalaulah data ini benar, maka menjadi bahaya besar dan akan terus mengancam Jambi, biaya yang akan dikeluarkan oleh negara untuk penangulangan bencana tak tanggung-tanggung besarnya.
Yang kemudian menimbulkan pemikiran dan pertanyaan hari ini: adakah laporan status Lingkungan Hidup Jambi ini dipelajari, dipahami dan dikordinasikan oleh gubernur maupun dinas terkait untuk menjadikan sebagai program prioritas membangun negeri Jambi.
Jangan biarkan masalah iklim global menjadi alasan untuk tidak menghadapi tantangan ini.
Tugas utama seorang Kepala Daerah adalah sebagai berikut:
* Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
* Perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang;
* Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
* Penyediaan sarana dan prasarana umum;
* Penanganan bidang kesehatan;
* Penyenggaraan pendidikan mensejahterakan masyarakatnya dan membuat masyarakatnya aman, nyaman dalam berkehidupan.
Apakah laporan itu hanya akan menumpuk di lemari arsip?
Ataukah penyusunan status Lingkungan hidup Jambi ini hanya untuk nemenuhi persyaratan adminitrasi saja?
Atau mungkin hanya bersifat seremonial untuk mencairkan dana anggaran?
Mohon maaf atas segala salah dan khilaf jika tulisan ini sedikit mengganggu kenyamanan pembaca. Wassalam!
Oleh: IR. DRS.H.ASRIZAL PAIMAN.MSI.IPM