Muaro Tebo- Pada hari Senin, tanggal 30 September 2024 telah dilaksanakan persidangan perdana kasus kebakaran hutan dan lahan yang dituduhkan kepada terdakwa atas nama Dewita Br Silalahi.
Persidangan pertama ini beragendakan pembacaan dakwaan kepada terdakwa. Pembacaan Dakwaan ini dilakuka langsung oleh Hari Anggara, S.H, M.H sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Muara Tebo.
Dalam dakwaannya, Dewita Br Silalahi dijerat dengan pertama pasal 78 ayat (4) Jo Pasal 50 ayat (2) huruf B Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebagai mana yang telah dirubah dalam pasal 36 lampiran undang-undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja menjadi undang-undang atau kedua pasal 78 ayat (3) Jo pasal 50 ayat (2) huruf A Undang-undang Republik Indonesia nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan sebagai mana yang telah dirubah dalam pasal 36 lampiran undang-undang Republik Indonesia nomor 6 tahun 2023 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 2022 tentang cipta kerja menjadi undang-undang.
Diketahui Dewita Br Silalahi adalah seorang petani kecil dari Desa Pemayungan, ditangkap oleh Tim Razia Gabungan. Penangkapan dilakukan oleh Forkompimda, kepolisian, TNI, dan PT. Alam Bukit Tigapuluh (ABT) terkait dugaan perambahan hutan dan pembakaran lahan.
Saat tim razia tiba, Dewita sedang membersihkan area di belakang rumahnya menggunakan parang, dan tidak ada api yang menyala. Meskipun tidak ada api aktif atau bukti perambahan yang terlihat di lokasi, pihak berwenang tetap menahan Dewita dan membawanya ke kantor desa untuk pemeriksaan lebih lanjut.
Tuduhan perambah hutan dilontarkan pihak yang menangkap bersama dengan PT. ABT, meski warga desa menganggap penangkapan ini tidak adil. Masyarakat desa mendesak agar Dewita dibebaskan, karena masyarakat mengetahui persis bahwa tidak ada api di wilayah kebun Dewita.
Selain itu mengingat status sosialnya sebagai ibu dari dua anak kecil yang sedang mencari nafkah dengan berkebun secara tradisional.
Abdullah, Direktur Eksekutif Daerah WALHI Jambi memandang proses hukum yang dihadapi oleh Dewita Br Silalahi ini adalah bentuk ketidakadilan dalam penegakan hukum terkait kebakaran hutan dan lahan.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh WALHI Jambi, September 2024 terdapat 9 korporasi sektor perkebunan dan kehutanan yang terbakar didalam izin konsesi.
Kejadian tersebut tidak mendapat atensi serius dari pihak penegak hukum. Secara luasan, di dalam konsesi perusahaan bisa jadi jauh lebih besar daripada temuan pihak kepolisan di area pekarangan kebun Dewita Br Silalahi ini.
“Rakyat kecil selalu menjadi contoh penegakan hukum dari aparat kepolisian, namun penjahat lingkungan sebenarnya luput dari perhatian,” katanya.
WALHI Jambi berharap, aparat penegak hukum mengedepankan sisi kemanusiaan kepada Dewita Br Silalahi karena dia adalah petani kecil yang menanam tanaman kehidupan (cabai,jagung, dan tomat) untuk kehidupan sehari hari. Selain itu, Dewita adalah seorang ibu dengan 2 orang anak yang masih butuh perhatian sehari-hari.