Oleh: Jamhuri-Direktur Eksekutive LSM Sembilan
Berbicara tentang Terminal Untuk Kepentingan Sendiri (TUKS) dan Mineral Batubara (Miberba) bukan cerita baru akan tetapi merupakan kisah lama warna penegakan hukum dan penyelenggaraan negara serta warna Azaz-Azaz Umum Pemerintah yang Baik (AUPB).
Hal tersebut merupakan cerita tentang suatu garis arsiran pembatas antara penegakan dengan kepastian hukum, baik itu dari perspektive kaidah hukum perizinan maupun hukum lingkungan serta Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang merupakan pedoman utama bagi Pemerintah yang paling mendasar untuk berpikir, berbuat ataupun tidak berbuat.
Secara de jure dan de facto keberadaan dan operasional TUKS di Provinsi Jambi menimbulkan kesan Pemerintah dan Hukum telah lumpuh tertindas di bawah kekuasaan musuh-musuh demokrasi seperti Oligarki, Kleptokrasi, dan Plutokrasi.
Pandangan ataupun penilaian tersebut dilatar belakangi dengan membaca dan memperhatikan serta mempelajari defenisi masing-masing paham musuh demokrasi tersebut.
Seperti dengan merujuk pada pandangan Jeffrey A. Winter dalam bukunya berjudul Oligarki adalah suatu bentuk pemerintahan di mana kekuasaan politik dan ekonomi dikendalikan oleh sekelompok kecil individu atau golongan elit.
Tidak jauh berbeda pada golongan musuh demokrasi lainnya yaitu system pemerintahan Kleptokrasi yang secara harfiah dapat diartikan yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana pemegang kekuasaan menggunakan posisinya untuk mencuri kekayaan negara atau korupsi.
Defenisi tersebut menggunakan frasa Kekayaan bukan Keuangan Negara, artinya yang dicuri pada system tersebut bukan sekedar keuangan negara (tunai) akan tetapi mencuri kekayaan negara yang ada sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (3) UUD’45.
Penggalan kata pada kalimat konstitusional tersebut menyebutkan dengan kata “….kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.”
Amanat konstitusional tersebut dengan kekuatan mengikat dan memaksa telah mengatur bahwa pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam dilakukan dengan system tidak lain selain daripada system demokrasi.
Tetap dengan mengedepankan dan mengutamakan kepentingan rakyat sesuai dengan tujuan negara sebagaimana amanat alinea ke IV Preumble UUD’45.
Pencapaian tujuan yang memerlukan pembiayaan yang bersumber dari pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam secara profesional dan proporsional untuk pendapatan bagi keuangan negara yang bersumber dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan Pajak dari berbagai sektor perpajakan.
Disamping system sebagaimana diatas musuh Demokrasi berikutnya yaitu apa yang disebut dengan sebutan Plutokrasi.
Keadaan penyelenggaraan negara di Provinsi Jambi terkesan telah diwarnai oleh praktek sebagaimana defenisi dari ketiga system pemerintahan tersebut.
Disamping itu ada kesan bahwa di Provinsi Jambi adanya suatu keadaan yang layak dinilai bahwa Pemerintahannya telah terkontaminasi oleh paham Plutokrasi yaitu suatu pemerintahan yang dikuasai oleh orang-orang kaya yang tercipta dari suatu kondisi ekstrem.
Dimana adanya keadaan yang memberikan gambaran adanya pemanfaatan keadaan ekstrem untuk kepentingan beserta kelompok tertentu.
Secara normatice negara yang memiliki sumber daya alam yang tinggi seperti minyak dan gas, logam mulia, mineral Batubara merupakan lahan subur atau setidak-tidaknya berpotensi mengalami jenis pemerintahan ini (Plutokrasi).
Karena pada umumnya, Lembaga atau pun institusi dan pihak-pihak berkompeten yang mengontrol sumber daya alam tersebut ingin mempertahankan kondisi atau keadaab yang menguntungkan bagi mereka.
Secara normative jika persoalan TUKS tersebut sejak dari awal pendiriannya dilihat dengan perspektive Azaz-Azaz Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), dengan mengedepankan kaidah atau norma hukum perizinan dan hukum lingkungan indikasi adanya ajaran paham musuh-musuh demokrasi tersebut tidak mesti terlihat bak arsiran lukisan tanpa wujud.